Friday 13 September 2019

Perkembangan Instrumen Hukum IMO tentang Perlindungan Lingkungan Maritim.

Pendahuluan
            Bahwa tema hari maritim sedunia tahun 2020 (WMD 2020) telah ditetapkan pada sidang Dewan(Council meeting) sesi yang ke 122 dari tanggal 15 – 19 Juli 2019, yaitu “Sustainable shipping for a sustainable planet” sebagaimana tertuang pada dokumen IMO (International Maritime Organizationnomor C.122. Pada dasarnya tema di atas adalah merupakan upaya negara-negara anggota IMO untuk ikut serta menyelamatkan planet bumi yang sejalan dengan SDG (Sustainable Development Goal) yang digariskan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). 
            Seiring dengan itu, penulis memperkirakan pada tahun yang akan datang (tahun 2020) pembahasan di sidang-sidang IMO akan banyak membahas tentang upaya perlindungan lingkungan maritim. Dalam upaya mencegah pencemaran lingkungan laut, instrumen hukum utama IMO yang saat ini dipakai adalah yang kita kenal dengan MARPOL (International Convention for the preventing of marine pollution from ships). MARPOL ini adalah MARPOL 1973/78. Namun dalam perkembangannya, pada tahun 1997 diperkenalkan instrument baru yang dimasukkan kedalam MARPOL, yaitu tentang perlindungan lingkungan maritim pencegahan pencemaran udara dari kapal, yang kita kenal dengan MARPOL Annex VI. MARPOL Annex VI ini adalah MARPOL Protocol 1997. Bukan MARPOL 1973/78. Lebih khusus lagi, hanya MARPOL yang sistim penerimaannya oleh negara-negara anggota (proses ratifikasi) berdasarkan Annexper Annex. Tiap Annexwaktu mulai pemberlakuannya pun berbeda-beda. 
Dilomatic Conference Hongkong Convention 2009
Sudah sejak beberapa tahun terakhir pembahasan di sidang-sidang IMO bertambah banyak. Hal ini antara lain adalah akibat dari perkembangan teknologi dan pertumbuhan perdagangan dengan menggunakan transportasi kapal laut. Dari banyak sidang-sidang yang dilaksanakan, pada akhirnya menghasilkan peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan baru di sektor maritim (disebut instrument hukum IMO). Di IMO, ketentuan-ketentuan tersebut dituangkan ke dalam bentuk Konvensi (Convention), Protokol (Protocol), Resolusi Komite (MSC/MEPC Resolution), Perjanjian (Agreement) ataupun berupa Edaran (Circular).Code(seperti ISM CodeISPS CodeIMDG Code, dsb.) juga instrument hukum tetapi bukan peraturan. Codemerupakan petunjuk rinci atau ketentuan melaksanakan peraturan/konvensi. Bentuk dari ketentuan-ketentuan atau perturan tersebut tentunya disesuaikan dengan tingkat kepentingan dan kaidah hukum internasional yang berlaku (Catatan: Since I am not an expert in international law, I am not in position to explain thus). Perobahan dan penambahan peraturan-perturan dan/atau ketentuan-ketentuan dari IMO ini begitu banyak dan bertubi-tubi, dan dapat dikatakan terlalu cepat. Dalam banyak kasus, tidak dapat diikuti dengan baik oleh berbagai pihak (party) yang menjadi pemegang kepentingan (stakeholders), sehingga terjadi kesalahan didalam memahami dan mengimplementasikannya. 
Yang mendorong penulis untuk membuat artikel ini adalah berkembangnya pemahaman yang salah oleh berbagai lapisan masyarakat maritim di Indonesia, bahwa MARPOL 1973/78 sekarang ini ada 10 Annex(termasuk di dalamnya Ballast Water, Anti Fouling, Noise reduction danVibration by ships). Pemahaman tersebut adalah salah. Yang benar adalah, apabila kita menyoal MARPOL 1973/78 (International Convention for the preventing of marine pollution from ships1973/1978) maka hanya ada 5 Annex(AnnexI, II, III, IV dan V). AnnexVI juga termasuk MARPOL, tetapi MARPOL Protocol 1997. Bukan MARPOL 1973/78. Tentang ballast water, dan anti fouling paintadalah merupakan konvensi-konvensi tersendiri. 
Sedangkan tentang pengaruh getaran kapal dan resonansi suara mesin kapal yang dapat merusak atau mengganggu satwa laut dibawahnya sudah sejak tahun 2007 (boleh jadi sebelumnya) memang sudah menjadi topik bahasan di sidang-sidang IMO khususnya di sidang komite MEPC (Marine Environmental Protection Committee) dan sub-sub komite seperti sub komite Design and Equipment(DE), yang sampai sekarang belum selesai pembahasannya. Sejak tahun 2007 sampai 2011 dimana pada waktu itu penulis sebagai Wakil Perutusan tetap Indonesia di IMO, selalu mengawal pembahasan di sidang-sidang IMO.

Diplomatic Conference HNS Convention 2010
MARPOL 1973/78 dan Protocol 1997
            MARPOL adalah salah satu pilar hukum utama dari IMO di sektor maritim selain SOLAS dan STCW. MARPOL juga sebagai induk dari semua konvensi IMO dalam upaya memberikan perlindungan terhadap lingkungan maritim dari berbagai ancaman polusi dan bahaya perusakan lain.
Kronologi adopsi dan pemberlakuan MARPOL adalah sebagai berikut:
·      Pada tanggal 2 November 1973 di adopsi MARPOL. Yang hanya terdiri dari AnnexI dan II. Sementara MARPOL 1973 belum diberlakukan, banyak kecelakaan terjadi khususnya terhadap kapal-kapal tanker terutama kecelakaan-kecelakaan pada tahun 1976 – 1977. Pada kajian-kajian terhadap kecelakaan yang terjadi (casualty analyses), ternyata yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan laut (pollutan) tidak hanya minyak dan cairan beracun saja. Kajian tentang pollutanmelebar sehingga hasilnya pada tahun 1978 diadopsi Protokol baru yang terdiri dari 3 Annex,dan disatukan dengan konvensi induk MARPOL. Kemudian dikenal dengan nama MARPOL 1973/78. MARPOL 1973/78 hanya terdiri dari 5 Annex. Pada tahun 1997 diadopsi protocol baru tentang pencemaran udara dari kapal, yang kemudian dijadikan Annex VI MARPOL (MARPOL Protocol 1997);
·      MARPOLAnnexI dan II mulai diberlakukan pada tanggal 2 Oktober 1983;
·      MARPOLAnnexIII mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1992;
·      MARPOLAnnexIV mulai diberlakukan pada tanggal 27 September 2003;
·      MARPOLAnnexV mulai diberlakukan pada tanggal 31 Desember 1988;
·      MARPOLAnnexVI mulai diberlakukan pada tanggal 19 Mei 2005.
Selengkapnya dapat dilihat di:
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi MARPOL AnnexI dan II pada 9 September 1986 melalui Keppres nomor 46 tahun 1986. Sedangkan MARPOL AnnexIII, IV, V dan VI diratifikasi secara bersamaan pada tanggal 20 Maret 2012 melalui Peraturan Presiden nomor 29 Tahun 2012.
            
Konvensi IMO lain mengenai perlindungan lingkungan maritim
·      International Convention for the Control and Management of Ships' Ballast Water and Sediments (BWM)yang di adopsi pada tahun 2004  (BWM 2004) dan mulai diberlakukan tahun 2017. 
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi pada tanggal 24 November 2015 melalui Peraturan Presiden nomor 132 tahun 2015. 

·     International Convention on the Control of Harmful Anti-fouling Systems on Shipsyang di adopsi tahun 2001 (Anti-fouling 2001) dan mulai diberlakukan tahun 2008. 

http://www.imo.org/en/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/International-Convention-on-the-Control-of-Harmful-Anti-fouling-Systems-on-Ships-(AFS).aspx

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi melalui Perpres nomor 66 tahun 2014 tertanggal 3 Juli 2014
·      International Convention on Civil Liability for Bunker Oil Pollution Damage (BUNKER) 2001.Di adopsi pada tanggal 23 Maret 2001. Mulai diberlakukan tanggal 21 November 2008.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi melalui Perpres nomor 65 tahun 2014 tertanggal 3 Juli 2014.
            
·       International Convention for the Safe and Environmentally Sound Recycling of Shipsyang diadopsi tahun 2009di Hongkong(Hongkong Convention 2009). Belum diberlakukan, dan pemerintah Indonesia juga belum meratifikasi.
Sebenarnya masih ada beberapa lagi konvensi IMO yang berhubungan dengan pencegahan pencemaran laut. Misalnya:
Penutup
Di IMO, apabila kita menyebut ‘MARPOL’, berarti “International Convention for the preventing of marine pollution from ships. Ini berarti MARPOL 1973/78 + Protocol 1997 (Annex I sampai VI). Tidak semua ketentuan atau instrument hukum IMO yang behubungan denagn pencegahan pencemaran laut bisa dikatakana MARPOL. Demikian pula Ballast Water Management, bukan MARPOL Annex VII.         

Demikianlah uraian tentang MARPOL, semoga dapat menjadi referensi bagi teman-teman semua, khususnya teman-teman yang mengajar Hukum Maritim, MARPOL atau yang lainnya di Diklat-Diklat Maritim di Indonesia. Penulis berupaya untuk selalu up-datedalam masalah ini, namun apabila ada teman pembaca yang lebih tahu perkembangannya dan up-datenya, dengan segala kerendahan hati penulis mohon pencerahannya.

Sebagai Ketua DELRI pada Dilomatic Conference Hongkong Convention 2009
Sebagai catatan, sebenarnya menurut data di IMO, Pemerintah Indonesia tidak pernah melakukan penerimaan konvensi IMO melalui proses yang namanya ratifikasi. Yang dilakukan adalah aksesi. Dalam proses ratifikasi harus diawali dengan yang namanya signature. Sedangkan aksesi tidak perlu melalui signature. Tentang Signature, Ratification dan Accession dapat dilihat di https://www.hadisupriyonommm.com/2010/12/penerimaan-perjanjian-internasional.html
Penandatanganan adopsi Text Hongkong Convention 2009

Dilomatic Conference Hongkong Convention 2009