-->
Pendahuluan
Melalui
Peraturan Presiden RI nomor 30 tahun 2012, pemerintah Indonesia telah
meratifikasi Konvensi SAR Maritim tahun 1979. Dokumen aksesi telah diterima sekretariat IMO pada 24 Agustus 2012. Dengan demikian Pemerintah Indonesia akan mulai memberlakukan mulai tanggal 23 September 2012 yang lalu. Dengan meratifikasi konvensi ini,
maka pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk melaksanakannya.
Organisasi antar bangsa PBB
(Persatuan Bangsa Bangsa) dalam United
Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) pada Artikel 98 menyatakan bahwa dalam upaya pencarian
dan pertolongan korban (Search and Rescue-SAR),
setiap negara harus mengatur agar nakhoda kapal wajib melakukan tindakan SAR
sejauh ia dapat melakukannya tanpa membahayakan kapal, awak kapal, atau
penumpang kapalnya sendiri dalam hal:
1.
untuk
memberikan bantuan kepada orang yang mengalami kecelakaan di laut;
2.
untuk secepatnya
melakukan tindakan penyelamatan terhadap orang yang mengalami kesusahan (dlaut),
jika ada informasi mengenai kebutuhan dan permintaan bantuan terhadapnya,
sejauh tindakan tersebut dapat dilakukan secara wajar;
3. untuk memberikan bantuan kepada kapal lain, awak dan
penumpangnya, setelah terjadinya tabrakan kapal.
Setiap negara pantai harus mendorong terwujudnya pemeliharaan operasi pencarian
yang efektif dan layanan penyelamatan yang memadai dalam hal keselamatan di
laut melalui pengaturan kerjasama regional dengan negara-negara tetangganya.
Peraturan V/33.1 SOLAS 1974 menyebutkan bahwa Nakhoda kapal yang tengah berada
di laut dan berada dalam posisi yang memungkinkan untuk memberikan bantuan,
ketika menerima informasi bahwa ada orang yang tengah mengalami kesulitan di
laut, mereka wajib berupaya memberikan bantuan secepatnya dan memberitahukan
bahwa kapal mereka segera melakukan upaya pencarian dan penyelamatan terhadap
orang-orang yang mengalami musibah di laut tersebut.
Peraturan V/7 dari SOLAS 1974 menyatakan bahwa tugas pencarian dan penyelamatan
itu merupakan tanggung jawab pemerintah. Hal ini untuk memastikan bahwa
pengaturan yang diperlukan dibuat untuk mengkomunikasikan musibah yang terjadi
dan melakukan koordinasi dengan pemerintah mengenai tanggung jawab untuk
menyelamatkan orang-orang yang tengah berada dalam kesulitan di sekitar pantai
atau di laut. Pengaturan ini mencakup pembentukan, operasi dan pemeliharaan
fasilitas SAR yang dianggap praktis dan diperlukan.
Konvensi SAR 1979 dan IAMSAR Manual
Mengingat
perkembangan tehnologi maritim dan makin komplexnya permasalahan yang timbul
dalam operasi pencarian dan pertolongan (SAR) di laut, IMO menugaskan
sub-komite COMSAR (Radio Communication and Search and Rescue) untuk membuat
konsep konvensi tentang SAR ini. Pada tahun 1978 sub-komite COMSAR menyerahkan
konsep text konvensi SAR kepada Komite
Keselamatan Maritim (Maritime Safety Committee – MSC), yang kemudian dilakukan
konferensi diplomatik pada bulan april 1979 di Hamburg, Jerman. Pada tanggal 27
April 1979 kenferensi berhasil mengadopsi konvensi sar tersebut, dan 6 tahun
kemudian, yaitu tanggal 22 Juni 1985 Konvensi SAR 1979 mulai diberlakukan.
Konvensi SAR 1979, bertujuan untuk mengembangkan rencana SAR (SAR Plan) secara internasional, sehingga
tidak peduli di mana kecelakaan terjadi, penyelamatan orang dalam bahaya di
laut akan dikoordinasikan oleh sebuah organisasi SAR dan, ketika diperlukan,
dengan kerjasama antara organisasi SAR negara tetangga.
Meskipun kewajiban kapal untuk memberikan bantuan terhadap kapal yang dalam keadaan
marabahaya secara tradisi dan dalam perjanjian internasional (seperti Konvensi
Internasional untuk Keselamatan Jiwa di Laut (SOLAS), 1974) telah ada, sebelum
diadopsinya Konvensi SAR, tidak ada instrumen hukum internasional yang mengatur
tentang operasi pencarian dan penyelamatan di laut. Di beberapa wilayah mungkin
terdapat organisasi yang mapan dapat memberikan bantuan segera dan efisien, di
wilayah lain tidak ada sama sekali.
Persyaratan teknis dari Konvensi SAR yang terkandung dalam Lampiran, yang
dibagi menjadi lima bab, bahwa Negara Pihak pada Konvensi ini diamanatkan untuk
memastikan bahwa pengaturan yang dibuat harus mencakup penyediaan layanan SAR
yang memadai di wilayah perairan pesisir mereka.
Semua Negara Pihak didorong untuk masuk ke dalam perjanjian SAR dengan
negara-negara tetangga yang melibatkan pembentukan wilayah SAR (SAR area), penyatuan fasilitas,
pembentukan prosedur umum, pelatihan bersama dan saling berkunjung (training and liaison visits). Konvensi
menyatakan bahwa Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah untuk mempercepat/mempermudah
unit penyelamatan dari Negara Pihak lainnya masuk ke perairan teritorialnya.
Selanjutnya Konvensi juga mengamanatkan untuk terus memnyusun langkah-langkah
persiapan yang harus dilakukan, termasuk pembentukan pusat koordinasi
penyelamatan (RCC) dan subcentres, sehingga
mampu menjelaskan prosedur operasi yang harus diikuti dalam hal keadaan darurat
atau kesiap-siagaan dan selama operasi SAR. Termasuk penunjukan seorang
komandan di tempat kejadian musibah dan tugas-tugasnya.
Negara Pihak pada Konvensi ini diwajibkan untuk membangun sistem pelaporan
kapal (Ship Reporting System - SRS),
di mana kapal dapat melaporkan posisi mereka ke sebuah stasiun radio pantai.
Hal ini memungkinkan tenggang waktu (interval)
antara kehilangan kontak dengan kapal dan inisiasi operasi pencarian dapat di
minimalisir. Hal ini juga membantu untuk memungkinkan kapal lain di sekitar
kejadian dapat secara cepat dipanggil untuk memberikan bantuan, termasuk
bantuan medis bila diperlukan.
Setelah Konvensi SAR di adopsi pada tahun 1979, melalui sidang MSC, disepakati
bahwa lautan di dunia dibagi menjadi 13 daerah pencarian dan penyelamatan, di
masing-masing negara yang bersangkutan memiliki wilayah pencarian dan
penyelamatan yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing.
Revisi Konvensi SAR
Konvensi SAR 1979 memberikan kewajiban yang cukup besar pada negara yang
meratifikasinya (pihak). Selain itu negara bukan pihak juga enggan meratifikasi
konvensi ini. Maka, pada pertemuan bulan Oktober 1995 di Hamburg (Jerman),
disepakati dilakukan revisi mengingat adanya sejumlah kekhawatiran yang cukup
besar yang perlu diperhitungkan, termasuk:
-
Pelajaran dari
operasi SAR pada masa2 sebelumnya;
-
Pengalaman
Negara-negara yang telah menerapkan Konvensi;
-
Pertanyaan dan
keprihatinan yang diajukan terutama oleh Negara-negara berkembang yang belum menjadi
negara Pihak terhadap Konvensi;
-
Perlu untuk
lebih menyelaraskan ketentuan IMO dan ICAO, dan
-
Penggunaan istilah
dan ungkapan pada Konvensi yang tidak konsisten.
Sub-Komite IMO pada Radio-Komunikasi dan Search and Rescue (COMSAR) diminta
untuk merevisi Lampiran teknis Konvensi. Sebuah teks draft disiapkan dan
disetujui oleh sidang ke-68 dari MSC pada Mei 1997, dan kemudian diadopsi oleh
sesi MSC ke-69 bulan Mei 1998.
Amandemen Tahun 1998
Diadopsi: 18 Mei 1998
Berlakunya: 1 Januari 2000
Lampiran teknis revisi Konvensi SAR menjelaskan tentang tanggung
jawab Pemerintah dan menempatkan penekanan lebih besar pada pendekatan regional
dan koordinasi antara operasi SAR maritim dan penerbangan.
Lampiran direvisi meliputi lima Bab:
Bab I - Istilah dan Definisi. Bab ini update Bab I asli dengan nama yang sama.
Bab II - Organisasi dan Koordinasi. Menggantikan Bab II tentang Organisasi
1979. Bab ini telah disusun kembali untuk membuat tanggung jawab Pemerintah
menjadi lebih jelas. Hal ini diperlukan oleh semua negara pihak Pihak, baik
secara individual maupun dalam kerja sama dengan negara lain, untuk menetapkan
elemen dasar dari pencarian dan layanan penyelamatan, meliputi:
-
Kerangka hukum;
-
Penugasan
otoritas yang bertanggung jawab;
-
Organisasi
sumber daya yang tersedia;
-
Fasilitas
komunikasi;
-
Koordinasi dan
fungsi operasional, dan
-
Proses untuk
meningkatkan layanan termasuk perencanaan, domestik dan internasional kerja
sama hubungan dan pelatihan.
Negara Pihak harus menetapkan daerah pencarian dan penyelamatan dalam setiap
wilayah laut - dengan persetujuan Para Pihak yang bersangkutan. Negara Pihak
kemudian menerima tanggung jawab untuk menyediakan layanan pencarian dan
penyelamatan untuk wilayah tertentu.
Bab ini juga menjelaskan bagaimana SAR layanan harus diatur dan kemampuan
nasional dikembangkan. Negara Pihak diwajibkan menyelenggarakan pusat
koordinasi penyelamatan dan mengoperasikannya selama 24 jam dengan staf
terlatih yang memiliki pengetahuan tentang bahasa Inggris.
Negara Pihak juga diharuskan untuk "memastikan terjalinnya koordinasi yang
paling praktis antara layanan maritim dan penerbangan".
Bab III - Kerja sama antara Negara. Menggantikan Bab III asli pada
Co-operation.
Mengharuskan Negara Pihak untuk membuat organisasi
koordinasi pencarian dan penyelamatan, dan jika perlu, operasi pencarian dan
penyelamatan dengan orang-orang dari Negara tetangga. Bab ini menyatakan bahwa
kecuali disepakati antara negara yang bersangkutan, Negara Pihak harus
memberikan kuasa, yang tunduk pada peraturan
nasional yang berlaku, aturan hukum dan peraturan, yang masuk ke dalam
atau atas laut teritorial atau wilayah untuk unit penyelamatan Negara Pihak
lain semata-mata untuk tujuan pencarian dan menyelamatkan.
Bab IV - Prosedur Operasi. Menggabungkan Bab IV sebelumnya (Tindakan Persiapan)
dan Bab V (Prosedur Operasi).
Bab ini mengatakan bahwa setiap RCC (Pusat Koordinasi
Penyelamatan) dan RSC (Sub-Centre Penyelamatan) harus memiliki informasi yang
up-to-date tentang fasilitas pencarian dan penyelamatan dan komunikasi di
daerah dan harus memiliki rencana rinci untuk melakukan pencarian dan
penyelamatan operasi. Pihak - individual atau kerjasama dengan orang lain harus
mampu menerima peringatan marabahaya selama 24 jam. Peraturan mencakup prosedur
yang harus diikuti selama keadaan darurat dan menyatakan bahwa kegiatan
pencarian dan penyelamatan harus dikoordinasikan di tempat kejadian untuk hasil
yang paling efektif. Bab mengatakan bahwa " operasi pencarian dan
penyelamatan akan terus, jika dapat dipraktikkan, sampai semua harapan yang
masuk akal menyelamatkan korban telah berlalu".
Bab V - Sistem pelaporan Kapal
Termasuk rekomendasi mengenai membangun sistem pelaporan
kapal untuk tujuan pencarian dan penyelamatan, mencatat bahwa sistem pelaporan
kapal yang ada dapat memberikan informasi yang memadai untuk keperluan
pencarian dan penyelamatan di daerah tertentu.
IAMSAR manual
Bersamaan dengan revisi Konvensi SAR, IMO dan International Civil Aviation Organization (ICAO) bersama-sama
mengembangkan Aeronautical dan Search dan
Rescue Maritim Internasional (IAMSAR) Manual,
diterbitkan dalam tiga volume meliputi Organisasi dan Manajemen, Misi
Koordinasi, dan Fasilitas Bergerak.
Pedoman IAMSAR merevisi dan menggantikan IMO MERSAR Manual, pertama kali
diterbitkan pada tahun 1971, dan IMOSAR Manual, pertama kali diterbitkan pada
tahun 1978.
Konvensi SAR Amandemen 2004 – Orang
dalam marabahaya di laut
DI adopsi bulan Mei 2004
Di berlakukan tanggal: 1 Juli 2006
Amandemen Annex dari Konvensi meliputi:
-
Penambahan
paragraf baru dalam bab II (Organisasi dan koordinasi) yang berkaitan dengan
definisi orang dalam marabahaya;
-
Baru paragraf
di Bab III (Kerjasama antar negara) yang berkaitan dengan bantuan kepada Nakhoda
dalam memberikan tempat yang aman bagi orang-orang yang diselamatkan di laut,
dan
-
Sebuah paragraf
baru dalam bab IV (Prosedur Operasi) yang berkaitan dengan pusat koordinasi penyelamatan
memindai proses identifikasi tempat yang paling tepat untuk orang-orang yang
ditemukan dan diselamatkan dari keadaan bahaya di laut.
Sistim komunikasi dalam operasi SAR
Global Maritime Distress and Safety System (GMDSS) adalah jaringan komunikasi darurat otomatis
kapal-kapal di seluruh dunia. GMDSS ini diperkenalkan melalui amandemen
Konvensi SOLAS yang telah diadopsi pada 1988 dan mulai diberlakukan pada 1
Februari 1992, namun demikian GMDSS baru mulai beroperasi secara penuh pada 1
Februari 1999.
Dalam hal terjadinya suatu musibah, seluruh operasi dikoordinasikan oleh Rescue Coordination Center (RCC) yang
ditunjuk dan diinformasikan untuk siaga, baik melalui system Inmarsat, COSPAS-SARSAT atau dari
stasiun radio pantai yang berpartisipasi dalam GMDSS. Pencarian itu
sendiri dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Konvensi SAR dan
diperkuat dengan IAMSAR-manual.
Sesuai dengan data GMDSS Master Plan
tahun 2011 di IMO, terdapat ‘wilayah kosong’ (blank area) di beberapa Search
and Rescue Region (SRR) di wilayah Republik Indonesia.
Pelaksanaan operasi SAR Maritim di
negara-negara ASEAN
Sesuai dengan
Peraturan Presiden RI nomor 30 tahun 2012, pemerintah Indonesia telah melakukan
aksesi (meratifikasi) Konvensi SAR Maritim tahun 1979. Dengan meratifikasi
konvensi ini, maka pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk
melaksanakannya.
Pendekatan umum untuk pengembangan
operasi SAR maritim dan penerbangan didasarkan pada tiga konvensi, yaitu:
Konvensi SOLAS (V/33), Konvensi SAR 1979, dan Lampiran-12 Konvensi Chicago
tentang Penerbangan Sipil Internasional.
Kerjasama SAR ASEAN dilakukan
berdasarkan ASEAN Agreement 1975 yang
ditandatangani di Kuala Lumpur pada 15 Mei 1975. Perjanjian ini memfasilitasi
operasi pencarian kapal yang mengalami musibah dan penyelamatan para korban
kecelakaan kapal, dan diratifikasi oleh Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia,
Myanmar, Thailand dan Vietnam.
Deklarasi tersebut adalah demi kepentingan para Pihak dalam melakukan
langkah-langkah pemberian bantuan kepada kapal yang mengalami musibah di
wilayah mereka dan juga tindakan yang tepat dan memungkinkan untuk dapat
dilakukan oleh para pemilik kapal atau pihak berwenang di mana kapal tersebut
terdaftar untuk mempersiapkan langkah-langkah bantuan yang harus dilakukan
dalam keadaan seperti itu.
Semua negara Pihak wajib membuat
perjanjian untuk memastikan mereka dapat masuk ke suatu wilayah tanpa
penundaan, sementara para ahli yang diperlukan untuk pencarian dan penyelamatan
dapat terhubnung dengan kapal yang mengalami musibah.
Negara-negara ASEAN juga telah
membentuk Search and Rescue Regions
(SRRs) dan Maritime Rescue
Coordination Centres (MRCCs) yang menyarankan adanya kerjasama diantara
negara-negara ASEAN di tingkat operasional SAR yang baik secara umum. Beberapa
negara ASEAN bahkan telah memiliki protokol bilateral yang menetapkan mengenai
prosedur masuknya unit penyelamatan ke wilayah otoritas masing-masing.
Langkah-langkah peningkatan
kerjasama yang dilakukan adalah dalam hal kerjasama penggunaan fasilitas SRR
setiap kali terlibat misi SAR. Meningkatkan arus dan pertukaran informasi yang
ada selama operasi SAR. Meningkatkan kerjasama pengelolaan anggota keluarga
dari orang yang diselamatkan atau hilang di laut, dan sering melakukan latihan
regional SAR untuk menjamin efisiensi dan efektivitas komunikasi ang dan
pengaturan operasi SAR.
Menetapkan pengaturan kerjasama
praktis SAR di wilayah laut teritorial di mana terdapat batas maritime, di
wilayah dimana terjadi tumpang tindih SRRs. Pengaturan praktis tersebut tidak
harus mengurangi batas klaim maritim dan delimitasi batas maritim.
Peningkatan kerjasama akan lebih
mudah dilakukan apabila ada kerangka hukum yang umum. Sebagian besar
negara-negara ASEAN merupakan para pihak pada UNCLOS dan SOLAS, tapi hanya 3
negara ASEAN yang menjadi pihak Konvensi SAR yaitu Indonesia, Singapura dan
Vietnam. Sebaiknya semua negara ASEAN yang tidak menjadi pihak pada Konvensi
SAR 1979 harus benar-benar didorong untuk menjadi negara pihak dari konvensi
ini.
ASEAN harus mempertimbangkan penyusunan Perjanjian baru SAR ASEAN. Sementara
itu, ASEAN juga harus mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan, termasuk
dalam hal:
1) Penggunaan berbagai fasilitas dalam misi penyelamatan;
2) Prosedur standar operasi untuk masuk ke perairan
teritorial dan melakukan pertukaran informasi;
3) Pengaturan di daerah perbatasan;
4)
Meningkatkan
program pelatihan SAR; dan meningkatkan latihan SAR