Thursday 30 May 2013

Pemberlakuan STCW-F 1995 vs STCW 1978



 












Pendahuluan

Seperti pada tulisan saya yang terdahulu tentang STCW-F 1995, bahwa konvensi ini telah diberlakukan sejak tanggal 29 September 2012 yang lalu. Dan sampai saat ini saya belum mendengar lagi sampai dimana langkah Pemerintah Indonesia dalam menyikapi pemberlakuan STCW-F 1995 ini. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia belum meratifikasi STCW-F 1995 walaupun banyak pelaut bangsa Indonesia yang bekerja di kapal-kapal ikan bendera asing.

Usulan Yunani pada sidang STW 44

Lepas dari itu semua, saya tertarik sekali dengan intervensi yang disampaikan oleh delegasi dari Yunani (Greece), yang saya dengar dari rekaman sidang IMO STW 44 (Sub Komite Standard of Training and Watchkeeping) yang baru berakhir pada tanggal 3 Mei yang lalu (walaupun gagal mengikuti siding STW 44 karena masalah visa, saya masih dapat mengikuti sidang dengan mendengarkan hasil rekaman di website IMO). (kata ‘intervensi’ adalah istilah yang digunakan untuk usulan2 lisan yang disampaikan pada sidang-sidang IMO)
Sebelum Ketua sidang STW 44 meneruskan membahas agenda item 4, delegasi Yunani menyampaikan usulan yang intinya adalah meminta agar sidang memikirkan tentang perlunya amandemen STCW 1995.
Delegasi Yunani menyampaikan bahwa STCW-F 1995 diadopsi pada tahun 1995 dan baru diberlakukan tahun 2012. Selama 17 tahun, STCW-F tidak pernah diamandemen. Diragukan apakah isi dari STCW-F dapat mencerminkan keinginan organisasi pada saat ini dan yang akan dating. Tentunya apa yang dituangkan di STCW-F pada saat itu (1995) sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini dan yang akan datang.
Sementara itu, STCW 1978 sejak diberlakukannya pada tahun 1984 telah beberapa kali diubah, termasuk perobahan besar yang dilakukan pada tahun 1995 dan yang terakhir tahun 2010.
Mengingat kedua konvensi tersebut (STCW 1978 dan STCW-F 1995) akan menjadi bahan acuan dalam pelaksanaan Port State Control (inspeksi terhadap kapal-kapal berbendera asing), tentunya persyaratan yang harus dipenuhi untuk sertifikasi berdasarkan kedua konvensi tersebut tidak boleh saling tumpang-tindih, dan tentunya harus saling memperkuat satu dengan yang lainnya.
Menurut saya, usulan Yunani tersebut sangat relevan. Lebih dari itu, sangat menguntungkan pemerintah Indonesia karena kita belum meratifikasi STCW-F 1995. Dalam menanggapi usulan Yunani tersebut kelihatannya tidak ada intervensi dari delegasi lain yang hadir, sehingga Ketua sidang mengatakan bahwa hal itu akan ditambahkan pada agenda sidang STW 45 yang akan datang (2014). Walaupun demikian, saya agak kecewa dengan delegasi Indonesia yang hadir pada saat itu. Menurut saya, harusnya delegasi Indonesia (DELRI) dapat menyampaikan dukungan terhadap intervensi Yunani tersebut.

DELRI di sidang STW 44

Lebih dari itu, saya mendengar semua diskusi di ruang plenary pada sidang STW 44 tersebut, dan tidak menemukan bahwa DELRI menyampaikan intervensi sekalipun, mulai hari pertama sampai hari terakhir sidang. Apakah DELRI tidak menyampaikan intervensi sama sekali?
Seingat saya, DELRI telah menyiapkan bahan sidang STW 44 jauh hari sebelum sidang dimulai. Saya sendiri ikut dalam mempersiapkan bahan sidang tersebut. Kami dari Badan Pengembangan SDM Perhubungan banyak memberikan masukan kepada Ditjenhubla dalam mempersiapkan bahan DELRI untuk intervensi di sidang tersebut. Ada beberapa hal penting yang seharusnya disampaikan dalam sidang terutama tentang:
1.      Pengembangan IMO Model Course (agenda 3)
2.      Diklat untuk mereka yang bekerja di kapal ‘Tug-Barge’ (usulan Malaysia dan Korea Selatan)
3.      Upaya PEMRI dalam memerangi pemalsuan sertifikat (agenda 4). Dan masih ada yang lainnya.
Kemanakah para anggota DELRI? Tidak adakah mereka yang duduk di ruang Plenary? Perlu diketahui, bahwa diskusi di ruang Plenary adalah sangat penting, baik secara politis maupun secara teknis. Secara teknis, menunjukkan bahwa DELRI yang hadir adalah orang-orang yang kompeten untuk mengikuti sidang tersebut. Secara politis, aktivitas DELRI dalam diskusi akan menaikkan dukungan Negara lain pada saat pemilihan anggota Dewan yang nanti akan dilaksanakan pada sidang Assembly bulan November/Desember 2013 yang akan datang.
Mudah-mudahan tulisan saya ini dapat membuka wawasan mereka yang berkompeten untuk ikut membawa nama Indonesia di kancah internasional.
Sidang STW 42 2011

Friday 17 May 2013

Konvensi SAR 1979 dan IAMSAR Manual

-->
Pendahuluan

Melalui Peraturan Presiden RI nomor 30 tahun 2012, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi SAR Maritim tahun 1979. Dokumen aksesi telah diterima sekretariat IMO pada 24 Agustus 2012. Dengan demikian Pemerintah Indonesia akan mulai memberlakukan mulai tanggal 23 September 2012 yang lalu. Dengan meratifikasi konvensi ini, maka pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk melaksanakannya.

Organisasi antar bangsa PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) dalam United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) pada Artikel 98 menyatakan bahwa dalam upaya pencarian dan pertolongan korban (Search and Rescue-SAR), setiap negara harus mengatur agar nakhoda kapal wajib melakukan tindakan SAR sejauh ia dapat melakukannya tanpa membahayakan kapal, awak kapal, atau penumpang kapalnya sendiri dalam hal:
1.     untuk memberikan bantuan kepada orang yang mengalami kecelakaan di laut;
2.     untuk secepatnya melakukan tindakan penyelamatan terhadap orang yang mengalami kesusahan (dlaut), jika ada informasi mengenai kebutuhan dan permintaan bantuan terhadapnya, sejauh tindakan tersebut dapat dilakukan secara wajar;
3.     untuk memberikan bantuan kepada kapal lain, awak dan penumpangnya, setelah terjadinya tabrakan kapal.

Setiap negara pantai harus mendorong terwujudnya pemeliharaan operasi pencarian yang efektif dan layanan penyelamatan yang memadai dalam hal keselamatan di laut melalui pengaturan kerjasama regional dengan negara-negara tetangganya.

Peraturan V/33.1 SOLAS 1974 menyebutkan bahwa Nakhoda kapal yang tengah berada di laut dan berada dalam posisi yang memungkinkan untuk memberikan bantuan, ketika menerima informasi bahwa ada orang yang tengah mengalami kesulitan di laut, mereka wajib berupaya memberikan bantuan secepatnya dan memberitahukan bahwa kapal mereka segera melakukan upaya pencarian dan penyelamatan terhadap orang-orang yang mengalami musibah di laut tersebut.  

Peraturan V/7 dari SOLAS 1974 menyatakan bahwa tugas pencarian dan penyelamatan itu merupakan tanggung jawab pemerintah. Hal ini untuk memastikan bahwa pengaturan yang diperlukan dibuat untuk mengkomunikasikan musibah yang terjadi dan melakukan koordinasi dengan pemerintah mengenai tanggung jawab untuk menyelamatkan orang-orang yang tengah berada dalam kesulitan di sekitar pantai atau di laut. Pengaturan ini mencakup pembentukan, operasi dan pemeliharaan fasilitas SAR yang dianggap praktis dan diperlukan.  

Konvensi SAR 1979 dan IAMSAR Manual

Mengingat perkembangan tehnologi maritim dan makin komplexnya permasalahan yang timbul dalam operasi pencarian dan pertolongan (SAR) di laut, IMO menugaskan sub-komite COMSAR (Radio Communication and Search and Rescue) untuk membuat konsep konvensi tentang SAR ini. Pada tahun 1978 sub-komite COMSAR menyerahkan konsep  text konvensi SAR kepada Komite Keselamatan Maritim (Maritime Safety Committee – MSC), yang kemudian dilakukan konferensi diplomatik pada bulan april 1979 di Hamburg, Jerman. Pada tanggal 27 April 1979 kenferensi berhasil mengadopsi konvensi sar tersebut, dan 6 tahun kemudian, yaitu tanggal 22 Juni 1985 Konvensi SAR 1979 mulai diberlakukan.

Konvensi SAR 1979, bertujuan untuk mengembangkan rencana SAR (SAR Plan) secara internasional, sehingga tidak peduli di mana kecelakaan terjadi, penyelamatan orang dalam bahaya di laut akan dikoordinasikan oleh sebuah organisasi SAR dan, ketika diperlukan, dengan kerjasama antara organisasi SAR negara tetangga.

Meskipun kewajiban kapal untuk memberikan bantuan terhadap kapal yang dalam keadaan marabahaya secara tradisi dan dalam perjanjian internasional (seperti Konvensi Internasional untuk Keselamatan Jiwa di Laut (SOLAS), 1974) telah ada, sebelum diadopsinya Konvensi SAR, tidak ada instrumen hukum internasional yang mengatur tentang operasi pencarian dan penyelamatan di laut. Di beberapa wilayah mungkin terdapat organisasi yang mapan dapat memberikan bantuan segera dan efisien, di wilayah lain tidak ada sama sekali.

Persyaratan teknis dari Konvensi SAR yang terkandung dalam Lampiran, yang dibagi menjadi lima bab, bahwa Negara Pihak pada Konvensi ini diamanatkan untuk memastikan bahwa pengaturan yang dibuat harus mencakup penyediaan layanan SAR yang memadai di wilayah perairan pesisir mereka.

Semua Negara Pihak didorong untuk masuk ke dalam perjanjian SAR dengan negara-negara tetangga yang melibatkan pembentukan wilayah SAR (SAR area), penyatuan fasilitas, pembentukan prosedur umum, pelatihan bersama dan saling berkunjung (training and liaison visits). Konvensi menyatakan bahwa Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah untuk mempercepat/mempermudah unit penyelamatan dari Negara Pihak lainnya masuk ke perairan teritorialnya.

Selanjutnya Konvensi juga mengamanatkan untuk terus memnyusun langkah-langkah persiapan yang harus dilakukan, termasuk pembentukan pusat koordinasi penyelamatan (RCC) dan subcentres, sehingga mampu menjelaskan prosedur operasi yang harus diikuti dalam hal keadaan darurat atau kesiap-siagaan dan selama operasi SAR. Termasuk penunjukan seorang komandan di tempat kejadian musibah dan tugas-tugasnya.

Negara Pihak pada Konvensi ini diwajibkan untuk membangun sistem pelaporan kapal (Ship Reporting System - SRS), di mana kapal dapat melaporkan posisi mereka ke sebuah stasiun radio pantai. Hal ini memungkinkan tenggang waktu (interval) antara kehilangan kontak dengan kapal dan inisiasi operasi pencarian dapat di minimalisir. Hal ini juga membantu untuk memungkinkan kapal lain di sekitar kejadian dapat secara cepat dipanggil untuk memberikan bantuan, termasuk bantuan medis bila diperlukan.

Setelah Konvensi SAR di adopsi pada tahun 1979, melalui sidang MSC, disepakati bahwa lautan di dunia dibagi menjadi 13 daerah pencarian dan penyelamatan, di masing-masing negara yang bersangkutan memiliki wilayah pencarian dan penyelamatan yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing.

Revisi Konvensi SAR

Konvensi SAR 1979 memberikan kewajiban yang cukup besar pada negara yang meratifikasinya (pihak). Selain itu negara bukan pihak juga enggan meratifikasi konvensi ini. Maka, pada pertemuan bulan Oktober 1995 di Hamburg (Jerman), disepakati dilakukan revisi mengingat adanya sejumlah kekhawatiran yang cukup besar yang perlu diperhitungkan, termasuk:
-       Pelajaran dari operasi SAR pada masa2 sebelumnya;
-       Pengalaman Negara-negara yang telah menerapkan Konvensi;
-       Pertanyaan dan keprihatinan yang diajukan terutama oleh Negara-negara berkembang yang belum menjadi negara Pihak terhadap Konvensi;
-       Perlu untuk lebih menyelaraskan ketentuan IMO dan ICAO, dan
-       Penggunaan istilah dan ungkapan pada Konvensi yang tidak konsisten.

Sub-Komite IMO pada Radio-Komunikasi dan Search and Rescue (COMSAR) diminta untuk merevisi Lampiran teknis Konvensi. Sebuah teks draft disiapkan dan disetujui oleh sidang ke-68 dari MSC pada Mei 1997, dan kemudian diadopsi oleh sesi MSC ke-69 bulan Mei 1998.

Amandemen Tahun 1998

Diadopsi: 18 Mei 1998
Berlakunya: 1 Januari 2000
Lampiran teknis revisi Konvensi SAR menjelaskan tentang tanggung jawab Pemerintah dan menempatkan penekanan lebih besar pada pendekatan regional dan koordinasi antara operasi SAR maritim dan penerbangan.

Lampiran direvisi meliputi lima Bab:

Bab I - Istilah dan Definisi. Bab ini update Bab I asli  dengan nama yang sama.

Bab II - Organisasi dan Koordinasi. Menggantikan Bab II tentang Organisasi 1979. Bab ini telah disusun kembali untuk membuat tanggung jawab Pemerintah menjadi lebih jelas. Hal ini diperlukan oleh semua negara pihak Pihak, baik secara individual maupun dalam kerja sama dengan negara lain, untuk menetapkan elemen dasar dari pencarian dan layanan penyelamatan, meliputi:

-       Kerangka hukum;
-       Penugasan otoritas yang bertanggung jawab;
-       Organisasi sumber daya yang tersedia;
-       Fasilitas komunikasi;
-       Koordinasi dan fungsi operasional, dan
-       Proses untuk meningkatkan layanan termasuk perencanaan, domestik dan internasional kerja sama hubungan dan pelatihan.

Negara Pihak harus menetapkan daerah pencarian dan penyelamatan dalam setiap wilayah laut - dengan persetujuan Para Pihak yang bersangkutan. Negara Pihak kemudian menerima tanggung jawab untuk menyediakan layanan pencarian dan penyelamatan untuk wilayah tertentu.

Bab ini juga menjelaskan bagaimana SAR layanan harus diatur dan kemampuan nasional dikembangkan. Negara Pihak diwajibkan menyelenggarakan pusat koordinasi penyelamatan dan mengoperasikannya selama 24 jam dengan staf terlatih yang memiliki pengetahuan tentang bahasa Inggris.

Negara Pihak juga diharuskan untuk "memastikan terjalinnya koordinasi yang paling praktis antara layanan maritim dan penerbangan".

Bab III - Kerja sama antara Negara. Menggantikan Bab III asli pada Co-operation.
Mengharuskan Negara Pihak untuk membuat organisasi koordinasi pencarian dan penyelamatan, dan jika perlu, operasi pencarian dan penyelamatan dengan orang-orang dari Negara tetangga. Bab ini menyatakan bahwa kecuali disepakati antara negara yang bersangkutan, Negara Pihak harus memberikan kuasa, yang tunduk pada peraturan  nasional yang berlaku, aturan hukum dan peraturan, yang masuk ke dalam atau atas laut teritorial atau wilayah untuk unit penyelamatan Negara Pihak lain semata-mata untuk tujuan pencarian dan menyelamatkan.

Bab IV - Prosedur Operasi. Menggabungkan Bab IV sebelumnya (Tindakan Persiapan) dan Bab V (Prosedur Operasi).
Bab ini mengatakan bahwa setiap RCC (Pusat Koordinasi Penyelamatan) dan RSC (Sub-Centre Penyelamatan) harus memiliki informasi yang up-to-date tentang fasilitas pencarian dan penyelamatan dan komunikasi di daerah dan harus memiliki rencana rinci untuk melakukan pencarian dan penyelamatan operasi. Pihak - individual atau kerjasama dengan orang lain harus mampu menerima peringatan marabahaya selama 24 jam. Peraturan mencakup prosedur yang harus diikuti selama keadaan darurat dan menyatakan bahwa kegiatan pencarian dan penyelamatan harus dikoordinasikan di tempat kejadian untuk hasil yang paling efektif. Bab mengatakan bahwa " operasi pencarian dan penyelamatan akan terus, jika dapat dipraktikkan, sampai semua harapan yang masuk akal menyelamatkan korban telah berlalu".

Bab V - Sistem pelaporan Kapal
Termasuk rekomendasi mengenai membangun sistem pelaporan kapal untuk tujuan pencarian dan penyelamatan, mencatat bahwa sistem pelaporan kapal yang ada dapat memberikan informasi yang memadai untuk keperluan pencarian dan penyelamatan di daerah tertentu.

IAMSAR manual

Bersamaan dengan revisi Konvensi SAR, IMO dan International Civil Aviation Organization (ICAO) bersama-sama mengembangkan Aeronautical dan Search dan Rescue Maritim Internasional (IAMSAR) Manual, diterbitkan dalam tiga volume meliputi Organisasi dan Manajemen, Misi Koordinasi, dan Fasilitas Bergerak.

Pedoman IAMSAR merevisi dan menggantikan IMO MERSAR Manual, pertama kali diterbitkan pada tahun 1971, dan IMOSAR Manual, pertama kali diterbitkan pada tahun 1978.

Konvensi SAR Amandemen 2004 – Orang dalam marabahaya di laut

DI adopsi bulan Mei 2004
Di berlakukan tanggal: 1 Juli 2006

Amandemen Annex dari Konvensi meliputi:
-       Penambahan paragraf baru dalam bab II (Organisasi dan koordinasi) yang berkaitan dengan definisi orang dalam marabahaya;
-       Baru paragraf di Bab III (Kerjasama antar negara) yang berkaitan dengan bantuan kepada Nakhoda dalam memberikan tempat yang aman bagi orang-orang yang diselamatkan di laut, dan
-       Sebuah paragraf baru dalam bab IV (Prosedur Operasi) yang berkaitan dengan pusat koordinasi penyelamatan memindai proses identifikasi tempat yang paling tepat untuk orang-orang yang ditemukan dan diselamatkan dari keadaan bahaya di laut.

Sistim komunikasi dalam operasi SAR

Global Maritime Distress and Safety System (GMDSS) adalah jaringan komunikasi darurat otomatis kapal-kapal di seluruh dunia. GMDSS ini diperkenalkan melalui amandemen Konvensi SOLAS yang telah diadopsi pada 1988 dan mulai diberlakukan pada 1 Februari 1992, namun demikian GMDSS baru mulai beroperasi secara penuh pada 1 Februari 1999.

Dalam hal terjadinya suatu musibah, seluruh operasi dikoordinasikan oleh Rescue Coordination Center (RCC) yang ditunjuk dan diinformasikan untuk siaga, baik melalui system Inmarsat, COSPAS-SARSAT atau dari stasiun radio pantai yang berpartisipasi dalam GMDSS.  Pencarian itu sendiri dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Konvensi SAR dan diperkuat dengan IAMSAR-manual.  

Sesuai dengan data GMDSS Master Plan tahun 2011 di IMO, terdapat ‘wilayah kosong’ (blank area) di beberapa Search and Rescue Region (SRR) di wilayah Republik Indonesia.

Pelaksanaan operasi SAR Maritim di negara-negara ASEAN

Sesuai dengan Peraturan Presiden RI nomor 30 tahun 2012, pemerintah Indonesia telah melakukan aksesi (meratifikasi) Konvensi SAR Maritim tahun 1979. Dengan meratifikasi konvensi ini, maka pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk melaksanakannya.

Pendekatan umum untuk pengembangan operasi SAR maritim dan penerbangan didasarkan pada tiga konvensi, yaitu: Konvensi SOLAS (V/33), Konvensi SAR 1979, dan Lampiran-12 Konvensi Chicago tentang Penerbangan Sipil Internasional.
Kerjasama SAR ASEAN dilakukan berdasarkan ASEAN Agreement 1975 yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada 15 Mei 1975. Perjanjian ini memfasilitasi operasi pencarian kapal yang mengalami musibah dan penyelamatan para korban kecelakaan kapal, dan diratifikasi oleh Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Myanmar, Thailand dan Vietnam.  

Deklarasi tersebut adalah demi kepentingan para Pihak dalam melakukan langkah-langkah pemberian bantuan kepada kapal yang mengalami musibah di wilayah mereka dan juga tindakan yang tepat dan memungkinkan untuk dapat dilakukan oleh para pemilik kapal atau pihak berwenang di mana kapal tersebut terdaftar untuk mempersiapkan langkah-langkah bantuan yang harus dilakukan dalam keadaan seperti itu.

Semua negara Pihak wajib membuat perjanjian untuk memastikan mereka dapat masuk ke suatu wilayah tanpa penundaan, sementara para ahli yang diperlukan untuk pencarian dan penyelamatan dapat terhubnung dengan kapal yang mengalami musibah.

Negara-negara ASEAN juga telah membentuk Search and Rescue Regions (SRRs) dan  Maritime Rescue Coordination Centres (MRCCs) yang menyarankan adanya kerjasama diantara negara-negara ASEAN di tingkat operasional SAR yang baik secara umum. Beberapa negara ASEAN bahkan telah memiliki protokol bilateral yang menetapkan mengenai prosedur masuknya unit penyelamatan ke wilayah otoritas masing-masing.

Langkah-langkah peningkatan kerjasama yang dilakukan adalah dalam hal kerjasama penggunaan fasilitas SRR setiap kali terlibat misi SAR. Meningkatkan arus dan pertukaran informasi yang ada selama operasi SAR. Meningkatkan kerjasama pengelolaan anggota keluarga dari orang yang diselamatkan atau hilang di laut, dan sering melakukan latihan regional SAR untuk menjamin efisiensi dan efektivitas komunikasi ang dan pengaturan operasi SAR.

Menetapkan pengaturan kerjasama praktis SAR di wilayah laut teritorial di mana terdapat batas maritime, di wilayah dimana terjadi tumpang tindih SRRs. Pengaturan praktis tersebut tidak harus mengurangi batas klaim maritim dan delimitasi batas maritim.

Peningkatan kerjasama akan lebih mudah dilakukan apabila ada kerangka hukum yang umum. Sebagian besar negara-negara ASEAN merupakan para pihak pada UNCLOS dan SOLAS, tapi hanya 3 negara ASEAN yang menjadi pihak Konvensi SAR yaitu Indonesia, Singapura dan Vietnam. Sebaiknya semua negara ASEAN yang tidak menjadi pihak pada Konvensi SAR 1979 harus benar-benar didorong untuk menjadi negara pihak dari konvensi ini.

ASEAN harus mempertimbangkan penyusunan Perjanjian baru SAR ASEAN. Sementara itu, ASEAN juga harus mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan, termasuk dalam hal:
1)    Penggunaan berbagai fasilitas dalam misi penyelamatan;
2)    Prosedur standar operasi untuk masuk ke perairan teritorial dan melakukan pertukaran informasi;
3)    Pengaturan di daerah perbatasan;
4)    Meningkatkan program pelatihan SAR; dan meningkatkan latihan SAR


Sunday 12 May 2013

Sekilas "Maritime Labour Convention, 2006" (MLC 2006)


Pendahuluan

Atas permintaan teman, ijinkan saya membuat tulisan tentang Maritime Labour Convention, 2006 (Konvensi tentang Pekerja Maritim 2006) yang dikenal secara luas sebagai MLC 2006.

International Labour Organization (ILO) menyadari bahwa pelaut adalah pekerja yang memiliki karakter dan sifat pekerjaan yang berbeda dengan industri sektor lain. ILO juga menyadari bahwa sesuai dengan survey yang dilakukan berbagai organisasi,  transportasi barang dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu negara ke negara yang lain 90% dilakukan dengan menggunakan transportasi laut. Bahwa saat ini lebih dari 1,2 triliun pelaut bekerja untuk mengantarkan barang-barang tersebut melalui kapal-kapal dimana mereka bekerja. Oleh karena itu tidak hentinya para anggota ILO membahas bagaimana meningkatkan kesejahteraan pelaut melalui ketentuan-ketentuan yang dapat diterima secara mendunia.

MLC 2006 ini adalah instrument hukum yang dibuat oleh Organisasi Pekerja Internasional (International Labour OrganizationILO) yang di adopsi pada bulan Februari 2006 di Jenewa, Swiss. Sesuai dengan kebiasaan internasional, sebuah konvensi multilateral tidak dapat diberlakukan seketika, menunggu sampai sejumlah anggota meratifikasi konvensi tersebut.
Sesuai dengan salah satu artikel pada MLC 2006, konvensi ini baru bisa diberlakukan (come into force) satu tahun setelah 30 negara anggota atau sejumlah negara yang mewakili 33% gross tonnage armada internasional telah meratifikasinya.
Pada tanggal 20 Agustus 2012 persyaratan tersebut telah terpenuhi setelah Rusia dan Philippines meratifikasi konvensi tersebut. Sehingga MLC 2006 dapat diberlakukan mulai tanggal 20 Agustus 2013. Negara yang telah meratifikasi tersebut yaitu: Croatia, Bulgaria , Canada, Saint Vincent and the Grenadines, Switzerland, Benin, Singapore, Denmark, Antigua and Barbuda, Latvia, Luxembourg, Kiribati, Netherlands, Australia, St Kitts and Nevis, Tuvalu, Togo, Poland, Palau, Sweden, Cyprus, Russian Federation, Philippines.

Menyusul kemudian negara2 Eropa lain yaitu:
1.     Finlandia (9 Januari 2013),
2.     Malta (22 Januari 2013),
3.     Yunani (8 Februari 2013) dan
4.     Perancis (28 Februari 2013).

Pada konferensi diplomatik saat di adopsinya MLC 2006, mantan Sekjen IMO H.E. E.E. Metropoulos (yang saat itu masih menjadi Sekjen IMO), sempat memberikan tanggapan terhadap MLC 2006 ini sebagai pilar yang ke 4 di sektor maritim,  melengkapi 3 pilar utama instrumen hukum IMO yang telah ada sebelumnya yaitu: SOLAS 1974, MARPOL 1973/78 dan STCW 1978. E.E. Metropoulos dalam sambutannya menyampaikan bahwa upaya meningkatkan keselamatan maritim, keamanan maritim dan pencegahan pencemaran lingkungan maritim, IMO telah membuat instrumen yang cukup ketat (stringent) melalui 3 instrumen yaitu SOLAS, MARPOL dan STCW tersebut. Namun mengingat IMO tidak memiliki kapasitas untuk membuat instrumen hukum yang komprehensive tntang perlindungan terhadap para pelaut, maka sudah tepat apabila ILO membuat MLC 2006 ini sebagai instrumen hukum internasional. Diterimanya MLC 2006 tersebut juga menjadi inspirator disahkannya tema Hari Maritim Sedunia (World Maritime Day)  pada sidang Dewan IMO tahun 2009 bahwa pada tahun 2010 dicanangkan sebagai Tahun untuk Pelaut (Year of Seafarers).

Pernyataan mantan Sekjen IMO tersebut mendapat penghargaan yang tinggi di kalangan negara anggota ILO, sebagaimana pernah diungkap kembali oleh delegasi ILO yang mengikuti sidang MSC IMO tahun 2010 Miss Cleopatra Doumbia-Henry, Directur International Labour Standards Department International Labour Office.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang MLC 2006 serta rencana pemberlakuannya, dapat dilihat pada www.ilo.org/mlc.

Keuntungan apakah yang didapat dengan pemberlakan MLC 2006 nanti?

Sebenarnya ILO sebelumnya telah membuat dan memberlakukan berbagai konvensi untuk melindungi para pelaut seperti ILO 147, ILO 185 dan yang lainnya. MLC 2006 ini sebenarnya adalah merupakan rangkuman dari konvensi-konvensi ILO sebelumnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja di sektor maritim (Pelaut).

Apabila MLC 2006 ini diberlakukan, beberapa hak para pelaut akan dapat terpenuhi yaitu:
·      Tempat kerja yang aman (safe and secure) sesuai dengan standar keselamatan yang layak;
·      Syarat perjanjian kerja yang wajar (fair terms of employment);
·      Kerja dan kondisi tempat kerja dikapal yang layak; dan
·      Perlindungan kerja, perawatan kesehatan, kesejahteraan dan bentuk lainnya terhadap perlindungan social (Health protection, medical care, welfare measures and other forms of social protection).

Bagaimana pengaruhnya terhadap industri maritim secara luas?

Sebagaimana kita ketahui bahwa industri maritim belakangan ini mengalami kelesuan dengan kondisi ekonomi dunia secara umum. Industri maritim secara umum tentunya akan terpengaruh dengan rencana pemberlakuan MLC 2006 ini, terutama industri pembuatan kapal dan perusahaan pelayaran (operator kapal). Hal ini disebabkan karena apabila kita cermati pasal demi pasal pada MLC 2006, persyaratan untuk konstruksi kapal, yaitu tentang ukuran akomodasi awak kapal serta pengawakan, khususnya tuntutan kesejahteraan bagi awak kapal, cukup menjadi beban yang berat bagi perusahaan pelayaran. Oleh karena itu pada saat ini asosiasi-asosiasi pemilik dan operator kapal berupaya untuk menunda pemberlakuan MLC 2006 ini. Apabila dipaksakan diberlakukan, dikhawatirkan industri maritim yang saat ini sedang berjuang untuk hidup semakin berat.

Bagaimana sikap Pemerintah Indonesia terhadap rencana pemberlakuan MLC 2006?

Sejak di adopsi nya MLC 2006, pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dan Kementerian Tenaga Kerja telah berupaya merespon dan melakukan pengkajian-pengkajian terhadap dampak pemberlakuan MLC 2006. Setahu penulis, sudah banyak pegawai di jajaran Direktorat Perkapalan dan Kepelautan (Ditkappel), Ditjen Hubla telah dikirim ke luar negeri intuk mempelajari lebih dalam tentang MLC 2006 dan bagaimana pemberlakuannya nanti. Secara nasional, perangkat hukum nasional seperti Peraturan Pemerintah nomor PP 7 tahun 2000 tentang Kepelautan, juga telah direvisi dan disesuaikan dengan tuntutan yang ada pada MLC 2006
Sebagai negara yang memiliki tenaga pelaut terbesar ke 3 (atau ke 4?) sedunia, pemerintah Indonesia perlu memikirkan secara serius untuk meratifikasi konvensi ini secepatnya, kalau tidak ingin para pelaut kita nantinya terlantar setelah MLC 2006 diberlakukan. Namun demikian, apabila meratifikasi, pemerintah Indonesia juga harus menyiapkan perangkat hukum nasional yang tepat untuk pelaksanaannya (implementasi). Selain itu, perlu memikirkan juga kondisi industri maritim nasional, khususnya perusahaan pelayaran nasional. Mampukah mereka memenuhi ketentuan-ketentuan yang harus menjadi tanggung jawabnya, mulai dari penyediaan akomodasi awak kapal, penggajian pelaut, kesejahteraan dan kesehatan para pelaut serta kesejahteraan keluarga pelaut?


Kesimpulan

Secara umum, MLC 2006 ini adalah sebagai "Seafarers' Bill of Rights", yaitu merupakan "tiket" bagi para pelaut untuk menuntut haknya sebagai pekerja, yang memiliki karakter berbeda dengan pekerja di sektor industri yang lain. Mengingat pentingnya MLC 2006 bagi kesejahteraan para pelaut, khususnya pelaut Indonesia, maka melalui tulisan ini, saya ingin mengingatkan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan percepatan proses ratifikasi terhadap konvensi ini agar para pelaut Indonesia serta perusahaan pelayaran nasional yang kapalnya pergi keluar negeri tidak mengalami masalah apabila konvensi ini nanti diberlakukan.