Pendahuluan
Kepada teman-teman yang senang membaca
posting saya di blog ini, saya mohon maaf sudah agak lama saya tidak menulis….
Kali ini saya ingin menulis tentang pentingnya pemahaman Peraturan
Internasional Pencegahan Tubrukan di Laut (P2TL), atau dikenal dengan Colreg
1972 (International Regulations for
Preventing Collision at Sea, 1972), dan implementasinya…., dengan harapan
dapat menjadi kajian kita bersama guna lebih meningkatkan keselamatan
bernavigasi di laut.
Tentunya masih belum hilang dari
ingatan kita, musibah tenggelamnya kapal ferry ro-ro KM Bahuga Jaya di Selat
Sunda pada dini hari tanggal 26 September 2012 yang lalu, yang sebelumnya
tubrukan dengan kapal tanker kimia (chemical
tanker) MV Norgas Canthika yang berbendera Singapura. Tidak begitu lama
sebelum dan sesudahnya, di perairan lain juga terdapat kecelakaan kapal dengan
sebab yang sama, yaitu tubrukan (collision).
Beberapa kecelakaan kapal karena tubrukan pada awal September – Oktober tahun
ini (2012) cukup banyak. Beberapa yang penulis peroleh dari berbagai media
elektronik antara lain:
·
Tanggal
9 September 2012 MV Sunny Horizon
(bulk carrier) dengan MV DL Salvia
(LPG carrier) di perairan Singapura (dekat Jurong).
·
Tanggal
14 September 2012 MV Norwegian Star
(cruiser) dengan kapal dari Royal
Caribbean’s Express (cruiser) di perairan Karibia.
·
Tanggal 1 Oktober 2012, 2 kapal ferry milik HK Electric Co.Ltd dan dari Kowloon Ferry, di perairan Hong Kong.
·
Tanggal
28 Oktober 2012, MV Pride of Burgundy
dan MV Barlioz tubrukan di dekat
pelabuhan Calais, Perancis Utara.
Saya tidak tahu persis sebab dari
tubrukan dari masing-masing kapal di atas, namun secara umum saya memiliki
keyakinan terkait dengan pemahaman para navigator terhadap keselamatan navigasi
termasuk bagaimana mengaplikasikan Colreg 1972 sebagaimana yang telah dirobah
beberapa kali.
Jumlah kapal pada decade terakhir ini
meningkat secara signifikan, menyebabkan lalu lintas kapal baik di lautan bebas
maupun di selat-selat yang dilayari kapal kapal, makin ramai dan padat,
sehingga resiko tubrukan di laut juga makin tinggi. Upaya-upaya pada waktu lalu
sampai saat ini telah dan selalu dilaksanakan, baik melalui forum2 nasional,
regional, maupun internasional. Di IMO, bahasan tentang hal ini menjadi tugas
sidang sub komite Keselamatan Navigasi (NAV).
Peraturan
Internasional tentang Pencegahan Tubrukan di Laut 1972 (P2TL 72) atau Colreg
1972
Peraturan tentang lalu lintas di laut secara international pertama
kali diadopsi pada tahun 1960, yang dikenal dengan COLREG 1960. Proses penyempurnaan Colreg dilakukan terus menerus,
sampai pada tanggal 20 Oktober 1972 disetujui oleh semua anggota IMO pada waktu
itu, untuk mengadopsi Colreg yang baru menggantikan Colreg 1960, yang dikenal
dengan Konvensi tentang Peraturan Pencegahan
Tubrukan di Laut Internasional 1972 (Convention on the International Regulations for
Preventing Collisions at Sea, 1972 – COLREG 1972). Di Indonesia dikenal dengan nama PIMTL (Peraturan Internasional
Mencegah Tubrukan di Laut) atau P2TL (Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut).
Colreg 1972 ini baru diberlakukan sejak tanggal 15 Juli 1977. Indonesia telah
meratifikasi walaupun 2 tahun setelah diberlakukan, yaitu pada tahun 1979
melalui Keputusan Presiden nomor 50 tahun 1979.
Sejak diberlakukannya, P2TL 1972 telah mengalami
perobahan-perobahan dengan amandemen berupa Resolusi2 hasil dari sidang-sidang
Assembly IMO yaitu:
·
Resolusi A.464(XII), hasil sidang
Assembly ke 12 tahun 1981;
·
Resolusi A.626(15), hasil sidang
Assembly ke 15 tahun 1987;
·
Resolusi A.678(16), hasil sidang
Assembly ke 16 tahun 1989;
·
Resolusi A.736(18), hasil sidang
Assembly ke 18 tahun 1993; and
·
Resolusi A.910(22), hasil sidang
Assembly ke 22 tahun 2001.
Kompetensi Mualim dan
Nakhoda tentang Colreg 1972 di Indonesia
Sesuai dengan STCW 1978 yang telah diamandemen beberapa kali
(terakhir amandemen Manila 2010), kompetensi para petugas jaga navigasi di
kapal, mulai dari supporting level, operational level sampai management level, baik yang berlayar di
perairan internasional, domestic maupun pelayaran menyusur pantai, telah
diberikan rambu2 ketentuan pengetahuan dan keterampilan minimal yang harus
dimiliki. Ini artinya bahwa siapapun, dari level paling bawah samapai paling
atas bila melakukan tugas jaga navigasi, mutlak wajib memahami implementasi Colreg
1972….
Sejak kita melaksanakan diklat kepelautan sesuai dengan STCW
1978 amandemen 1995, pemerintah Indonesia mengambil keputusan pelajaran dan
mata uji “P2TL” digabung menjadi satu dengan “Dinas Jaga”, sehingga namanya
menjadi “P2TL dan Dinas Jaga”.
Kebetulan saya ikut terlibat dalam penyusunan kurikulum dan silabus diklatnya.
Saya ingat betul bahwa kurikulum dan silabus telah disusun sedemikian rupa,
tanpa mengurangi waktu pembelajaran aturan demi aturan Colreg 1972. Namun
pelaksanaannya, ternyata di tiap2 diklat berbeda-beda. Diperkirakan ada
indikasi aturan per aturan P2TL tidak diberikan secara lengkap (incomprehensive), sehingga pemahaman
mulai dari azas keselamatan, sistimatika dan substansi tiap-tiap aturan tidak
mampu ditransfer dengan baik.
Beberapa indikasi
kurangnya pemahaman para navigator terhadap COLREG 1972.
Saya beberapa kali mendapatkan pertanyaan atas keraguan dari
teman-teman Mualim dan Nakhoda: “penerangan
apa yang wajib dinyalakan pada waktu mesin induk rusak dan kapal berlabuh
jangkar (menurut Collreg 1972)?”. Kebanyakan yang bertanya berpendapat
dengan penuh keraguan: “penerangan labuh
jangkar dan 2 penerangan keliling warna merah bersusun tegak”.
Pertanyaan tersebut
tidak akan terjadi apabila para Mualim dan Nakhoda memahami secara benar aturan
demi aturan Colreg 1972.
Coba kita lihat lagi aturan2 pada Collreg 1972 terkait:
1.
Aturan 3(f): istilah "kapal tidak dapat di olah gerak” (vessel not under command) boleh jadi
karena mesinnya rusak atau sistim pengemudian kapalnya tidak bekerja. Sehingga
menurut aturan 27(1)(a) wajib memasang 2 penerangan keliling warna merah
bersusun tegak di malam hari, atau 2 bola2 hitam bersusun tegak di siang hari.
Tetapi pada sub ayat (iii) tertulis: “when making way through the water….”
(bila memiliki kecepatan terhadap air…) ditambah
penerangan lambung (side lights) dan
penerangan buritan (stern light).
Kedua penerangan terakhir adalah untuk kapal yang sedang berlayar (underway) – aturan 23.
2.
Aturan 30: ayat (a),
(b) dan (c) adalah ketentuan penerangan dan sosok-benda untuk kapal yang sedang
berlabuh jangkar. Sedangkan ayat (d) adalah untuk kapal
kandas. Kedua situasi tersebut sudah dibedakan penerangan dan sosok bendanya.
3. Dengan memasang penerangan labuh jangkar dan 2 penerangan keliling
warna merah bersusun tegak, berarti kapal tersebut adalah kapal kandas - Aturan
30(d). Bukan kapal berlabuh jangkar dan mesin induknya rusak.
Menurut penuturan para pelaut setelah saya jelaskan seperti itu, ada
beberapa yang mengatakan: “Kalau di pelabuhan Indonesia sering ditegor
Syahbandar kalau mesin induk rusak tidak memasang 2 penerangan keliling warna
merah bersusun tegak”. Mudah-mudahan itu tidak benar. Kalau penyampaian itu
benar, para Syahbandar harus di ‘up-grade’
pemahamannya tentang implementasi Colreg 1972.
Contoh lain lagi…… musibah tubrukan antara kapal MV Bahuga Jaya
dengan MT Norgas Canthika di Selat Sunda bulan September 2012 yang lalu. Saya
berusaha mencari informasi, baik di media cetak maupun elektronik. Tetapi
setelah saya dapatkan berita dari berbagai sumber, saya bingung karena
informasi tentang kecelakaan tersebut simpang siur, yang menurut saya banyak
yang perlu diluruskan. Antara lain pemahaman terhadap Aturan 15 (crossing situation) dan Aturan 17 (Action by stand-on vessel) Colreg 1972.
Coba baca baik-baik clipping di bawah ini. Dari siapa mereka
mendapat informasi untuk diberitakan ke publik?
The fact is………. Aturan 15 P2TL 1972 berlaku di laut bebas, perairan
sempit dan selat, serta di tata lalu-lintas (traffic separation schemes – TSS). Kapal yang melihat kapal lain di
lambung kanannya (pada malam hari melihat penerangan lambung kiri kapal lain –
warna merah) wajib menghindar (tidak seperti yang diberitakan oleh Radar
Lampung di atas).
Apakah benar di TSS Aturan 15 juga berlaku? Hal ini ditegaskan pada
aturan 10(a): Aturan ini berlaku di TSS yang di adopsi IMO dan tidak
membebaskan setiap kapal dari kewajiban mematuhi Aturan lain yang manapun (This Rule applies to traffic separation schemes
adopted by the Organization and does not
relieve any vessel of her obligation under any other Rule)
Sepengetahuan saya, di Selat Sunda belum terdapat TSS yang di adopsi
IMO.
Gambar: Kapal (b) wajib menyimpang atau menghindar dari lintasan
kapal (a)
Sedangkan Aturan 17 Collreg 1972 memang memang menetapkan bahwa kapal
yang bertahan harus mempertahankan haluan dan kecepatan. Tetapi bila kapal yang
wajib menghindar tidak mampu melakukan tindakan dengan aman, ia harus membantu
upaya menghindar, dan apabila merobah haluan, tidak ke kiri (Aturan 17 c).
Kapal yang bertahan juga memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan menghindar
(Aturan 17-d: This Rule does
not relieve the give-way vessel of her obligation to keep out of the way)
Masih banyak lagi kasus-kasus yang mengarah pada asumsi bahwa para
Mualim dan Nakhoda kapal, serta pejabat Kesyahbandaran tidak memahami aturan
demi aturan Colreg 1972. Mungkinkah ini disebabkan karena pelajaran P2TL
dijadikan satu dengan Dinas Jaga? Kalau jawabannya “YA”, maka mata pelajaran
P2TL dan Dinas Jaga harus dipisahkan. Karena materi pelajaran Dinas Jaga tidak
banyak, saya berpendapat cukup materi yang sudah diberikan pada diklat
keterampilan pelaut “Bridge Resource Management” (BRM). Hal ini sudah beberapa
kali saya sampaikan pada kesempatan-kesempatan mengikuti loka-karya yang
diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Laut (PP SDM Hubla) dan
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dalam penyusunan kurikulum untuk
‘up-dating’ sertifikat kepelautan sesuai STCW 1978 amendment 2010.
Penutup
Keselamatan dilaut, khususnya upaya mencegah terjadinya tubrukan
antara kapal-kapal adalah mutlak dan sangat penting. Oleh karena itu, marilah
kita bersama-sama lebih mendalami dan memahami azas, sistimatika dan substansi
tiap-tiap Aturan Colreg 1972 secara menyeluruh. Tidak ada kata terlambat. Tidak
ada kata ‘malu’ walau kita sudah ANT-I…Master Mariner…. Semua kita lakukan
untuk lebih meningkatkan keselamatan jiwa manusia di laut dan menjaga
lingkungan maritim……
Wassalam.......