Friday, 28 December 2012

Pentingnya pemahaman COLREG 1972.


Pendahuluan

Kepada teman-teman yang senang membaca posting saya di blog ini, saya mohon maaf sudah agak lama saya tidak menulis…. Kali ini saya ingin menulis tentang pentingnya pemahaman Peraturan Internasional Pencegahan Tubrukan di Laut (P2TL), atau dikenal dengan Colreg 1972 (International Regulations for Preventing Collision at Sea, 1972), dan implementasinya…., dengan harapan dapat menjadi kajian kita bersama guna lebih meningkatkan keselamatan bernavigasi di laut.

Tentunya masih belum hilang dari ingatan kita, musibah tenggelamnya kapal ferry ro-ro KM Bahuga Jaya di Selat Sunda pada dini hari tanggal 26 September 2012 yang lalu, yang sebelumnya tubrukan dengan kapal tanker kimia (chemical tanker) MV Norgas Canthika yang berbendera Singapura. Tidak begitu lama sebelum dan sesudahnya, di perairan lain juga terdapat kecelakaan kapal dengan sebab yang sama, yaitu tubrukan (collision). Beberapa kecelakaan kapal karena tubrukan pada awal September – Oktober tahun ini (2012) cukup banyak. Beberapa yang penulis peroleh dari berbagai media elektronik antara lain:
·      Tanggal 9 September 2012 MV Sunny Horizon (bulk carrier) dengan MV DL Salvia (LPG carrier) di perairan Singapura (dekat Jurong).
·      Tanggal 14 September 2012 MV Norwegian Star (cruiser) dengan kapal dari Royal Caribbean’s Express (cruiser) di perairan Karibia.
·       Tanggal 1 Oktober 2012, 2 kapal ferry milik HK Electric Co.Ltd dan dari Kowloon Ferry, di perairan Hong Kong.
·      Tanggal 28 Oktober 2012, MV Pride of Burgundy dan MV Barlioz tubrukan di dekat pelabuhan Calais, Perancis Utara.

Saya tidak tahu persis sebab dari tubrukan dari masing-masing kapal di atas, namun secara umum saya memiliki keyakinan terkait dengan pemahaman para navigator terhadap keselamatan navigasi termasuk bagaimana mengaplikasikan Colreg 1972 sebagaimana yang telah dirobah beberapa kali.

Jumlah kapal pada decade terakhir ini meningkat secara signifikan, menyebabkan lalu lintas kapal baik di lautan bebas maupun di selat-selat yang dilayari kapal kapal, makin ramai dan padat, sehingga resiko tubrukan di laut juga makin tinggi. Upaya-upaya pada waktu lalu sampai saat ini telah dan selalu dilaksanakan, baik melalui forum2 nasional, regional, maupun internasional. Di IMO, bahasan tentang hal ini menjadi tugas sidang sub komite Keselamatan Navigasi (NAV).

Peraturan Internasional tentang Pencegahan Tubrukan di Laut 1972 (P2TL 72) atau Colreg 1972

Peraturan tentang lalu lintas di laut secara international pertama kali diadopsi pada tahun 1960, yang dikenal dengan COLREG 1960. Proses penyempurnaan Colreg dilakukan terus menerus, sampai pada tanggal 20 Oktober 1972 disetujui oleh semua anggota IMO pada waktu itu, untuk mengadopsi Colreg yang baru menggantikan Colreg 1960, yang dikenal dengan Konvensi tentang Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut Internasional 1972 (Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea, 1972 – COLREG 1972). Di Indonesia dikenal dengan nama PIMTL (Peraturan Internasional Mencegah Tubrukan di Laut) atau P2TL (Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut). Colreg 1972 ini baru diberlakukan sejak tanggal 15 Juli 1977. Indonesia telah meratifikasi walaupun 2 tahun setelah diberlakukan, yaitu pada tahun 1979 melalui Keputusan Presiden nomor 50 tahun 1979.

Sejak diberlakukannya, P2TL 1972 telah mengalami perobahan-perobahan dengan amandemen berupa Resolusi2 hasil dari sidang-sidang Assembly IMO yaitu:
·      Resolusi A.464(XII), hasil sidang Assembly ke 12 tahun 1981;
·      Resolusi A.626(15), hasil sidang Assembly ke 15 tahun 1987;
·      Resolusi A.678(16), hasil sidang Assembly ke 16 tahun 1989;
·      Resolusi A.736(18), hasil sidang Assembly ke 18 tahun 1993; and
·      Resolusi A.910(22), hasil sidang Assembly ke 22 tahun 2001.

Resolusi sidang Assembly ke 22 tersebut memasukkan kapal jenis Wing-in Ground kedalam aturan P2TL.






Kompetensi Mualim dan Nakhoda tentang Colreg 1972 di Indonesia

Sesuai dengan STCW 1978 yang telah diamandemen beberapa kali (terakhir amandemen Manila 2010), kompetensi para petugas jaga navigasi di kapal, mulai dari supporting level, operational level sampai management level, baik yang berlayar di perairan internasional, domestic maupun pelayaran menyusur pantai, telah diberikan rambu2 ketentuan pengetahuan dan keterampilan minimal yang harus dimiliki. Ini artinya bahwa siapapun, dari level paling bawah samapai paling atas bila melakukan tugas jaga navigasi, mutlak wajib memahami implementasi Colreg 1972….

Sejak kita melaksanakan diklat kepelautan sesuai dengan STCW 1978 amandemen 1995, pemerintah Indonesia mengambil keputusan pelajaran dan mata uji “P2TL” digabung menjadi satu dengan “Dinas Jaga”, sehingga namanya menjadi “P2TL dan Dinas Jaga”. Kebetulan saya ikut terlibat dalam penyusunan kurikulum dan silabus diklatnya. Saya ingat betul bahwa kurikulum dan silabus telah disusun sedemikian rupa, tanpa mengurangi waktu pembelajaran aturan demi aturan Colreg 1972. Namun pelaksanaannya, ternyata di tiap2 diklat berbeda-beda. Diperkirakan ada indikasi aturan per aturan P2TL tidak diberikan secara lengkap (incomprehensive), sehingga pemahaman mulai dari azas keselamatan, sistimatika dan substansi tiap-tiap aturan tidak mampu ditransfer dengan baik.

Beberapa indikasi kurangnya pemahaman para navigator terhadap COLREG 1972.

Saya beberapa kali mendapatkan pertanyaan atas keraguan dari teman-teman Mualim dan Nakhoda: “penerangan apa yang wajib dinyalakan pada waktu mesin induk rusak dan kapal berlabuh jangkar (menurut Collreg 1972)?”. Kebanyakan yang bertanya berpendapat dengan penuh keraguan: “penerangan labuh jangkar dan 2 penerangan keliling warna merah bersusun tegak”.
Pertanyaan tersebut tidak akan terjadi apabila para Mualim dan Nakhoda memahami secara benar aturan demi aturan Colreg 1972.

Coba kita lihat lagi aturan2 pada Collreg 1972 terkait:
1.     Aturan 3(f): istilah "kapal tidak dapat di olah gerak” (vessel not under command) boleh jadi karena mesinnya rusak atau sistim pengemudian kapalnya tidak bekerja. Sehingga menurut aturan 27(1)(a) wajib memasang 2 penerangan keliling warna merah bersusun tegak di malam hari, atau 2 bola2 hitam bersusun tegak di siang hari. Tetapi pada sub ayat (iii) tertulis: when making way through the water….” (bila memiliki kecepatan terhadap air…) ditambah penerangan lambung (side lights) dan penerangan buritan (stern light). Kedua penerangan terakhir adalah untuk kapal yang sedang berlayar (underway) – aturan 23.
2.     Aturan 30: ayat (a), (b) dan (c) adalah ketentuan penerangan dan sosok-benda untuk kapal yang sedang berlabuh jangkar. Sedangkan ayat (d) adalah untuk kapal kandas. Kedua situasi tersebut sudah dibedakan penerangan dan sosok bendanya.
3.     Dengan memasang penerangan labuh jangkar dan 2 penerangan keliling warna merah bersusun tegak, berarti kapal tersebut adalah kapal kandas - Aturan 30(d). Bukan kapal berlabuh jangkar dan mesin induknya rusak.

Menurut penuturan para pelaut setelah saya jelaskan seperti itu, ada beberapa yang mengatakan: “Kalau di pelabuhan Indonesia sering ditegor Syahbandar kalau mesin induk rusak tidak memasang 2 penerangan keliling warna merah bersusun tegak”. Mudah-mudahan itu tidak benar. Kalau penyampaian itu benar, para Syahbandar harus di ‘up-grade’ pemahamannya tentang implementasi Colreg 1972.

Contoh lain lagi…… musibah tubrukan antara kapal MV Bahuga Jaya dengan MT Norgas Canthika di Selat Sunda bulan September 2012 yang lalu. Saya berusaha mencari informasi, baik di media cetak maupun elektronik. Tetapi setelah saya dapatkan berita dari berbagai sumber, saya bingung karena informasi tentang kecelakaan tersebut simpang siur, yang menurut saya banyak yang perlu diluruskan. Antara lain pemahaman terhadap Aturan 15 (crossing situation) dan Aturan 17 (Action by stand-on vessel) Colreg 1972.

Coba baca baik-baik clipping di bawah ini. Dari siapa mereka mendapat informasi untuk diberitakan ke publik?



The fact is………. Aturan 15 P2TL 1972 berlaku di laut bebas, perairan sempit dan selat, serta di tata lalu-lintas (traffic separation schemes – TSS). Kapal yang melihat kapal lain di lambung kanannya (pada malam hari melihat penerangan lambung kiri kapal lain – warna merah) wajib menghindar (tidak seperti yang diberitakan oleh Radar Lampung di atas).
Apakah benar di TSS Aturan 15 juga berlaku? Hal ini ditegaskan pada aturan 10(a): Aturan ini berlaku di TSS yang di adopsi IMO dan tidak membebaskan setiap kapal dari kewajiban mematuhi Aturan lain yang manapun (This Rule applies to traffic separation schemes adopted by the Organization and does not relieve any vessel of her obligation under any other Rule)
Sepengetahuan saya, di Selat Sunda belum terdapat TSS yang di adopsi IMO.

Gambar: Kapal (b) wajib menyimpang atau menghindar dari lintasan kapal (a)

Sedangkan Aturan 17 Collreg 1972 memang memang menetapkan bahwa kapal yang bertahan harus mempertahankan haluan dan kecepatan. Tetapi bila kapal yang wajib menghindar tidak mampu melakukan tindakan dengan aman, ia harus membantu upaya menghindar, dan apabila merobah haluan, tidak ke kiri (Aturan 17 c). Kapal yang bertahan juga memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan menghindar (Aturan 17-d: This Rule does not relieve the give-way vessel of her obligation to keep out of the way)

Masih banyak lagi kasus-kasus yang mengarah pada asumsi bahwa para Mualim dan Nakhoda kapal, serta pejabat Kesyahbandaran tidak memahami aturan demi aturan Colreg 1972. Mungkinkah ini disebabkan karena pelajaran P2TL dijadikan satu dengan Dinas Jaga? Kalau jawabannya “YA”, maka mata pelajaran P2TL dan Dinas Jaga harus dipisahkan. Karena materi pelajaran Dinas Jaga tidak banyak, saya berpendapat cukup materi yang sudah diberikan pada diklat keterampilan pelaut “Bridge Resource Management” (BRM). Hal ini sudah beberapa kali saya sampaikan pada kesempatan-kesempatan mengikuti loka-karya yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Laut (PP SDM Hubla) dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dalam penyusunan kurikulum untuk ‘up-dating’ sertifikat kepelautan sesuai STCW 1978 amendment 2010.

Penutup

Keselamatan dilaut, khususnya upaya mencegah terjadinya tubrukan antara kapal-kapal adalah mutlak dan sangat penting. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama lebih mendalami dan memahami azas, sistimatika dan substansi tiap-tiap Aturan Colreg 1972 secara menyeluruh. Tidak ada kata terlambat. Tidak ada kata ‘malu’ walau kita sudah ANT-I…Master Mariner…. Semua kita lakukan untuk lebih meningkatkan keselamatan jiwa manusia di laut dan menjaga lingkungan maritim……

Wassalam.......

18 comments:

  1. sangat menarik sekaligus refreshing,.......p3b/bplp XXX SMG

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear Al Hasaan, terima kasih comment nya. Semoga bermanfaat. Salam kompak dr sy....and... Semoga sukses selalu dalam berkarir..

      Delete
  2. Betul senior, selama saya berlayar, pedomannya "red to red & green to green, go ahead".

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih sdh bersedia baca tulisan saya....semoga bermanfaat.... Amiin

      Delete
  3. Betul senior, waktu saya masih berlayar selama kurang/lebih 25th, pedomannya adalah "red to red & green to green, go ahead".
    Sekarang saya mulai belajar lagi & blog ini sangat membantu sekali, karena sekarang saya membantu mengajar di BP2IP Surabaya.
    Sekilas info untuk senior : saat saya coba buka "Stabilitas Kapal", keluar "link yang anda inginkan tidak berlaku".
    Salam "kapal2an"

    ReplyDelete
  4. Setelah saya mempelajari rekaman AIS dari MV Norgas Canthika (NC), ternyata tubrukan antara MV Norgas Canthika dengan KM Bahuga Jaya (BJ) memang merupakan indikasi kuat dari kurangnya pemahaman para navigator terhadap implementasi Colreg 1972. Hal2 signifikan yang saya amati merupakan penyebab tubrukan yaitu:
    1. Melihat posisi kedua kapal, NC yg harus menghindar karena adanya resiko tubrukan dengan BJ dan ia berada di lambung kirinya BJ. Tetapi perobahan yang ia lakukan tidak cukup besar (hanya 5 derajat), sehingga BJ menjadi ragu2 apakah NC melakukan tindakan apa tidak. Sesuai dengan aturan 16, tindakan NC seharusnya nyata sampai resiko tubrukan lewat (take early and substantial action to keep well clear)
    2. Oleh karena ragu2, BJ bermaksud membantu oleh gerak, tapi melakukan kesalahan karena ia merobah haluan kekiri, yg menurut aturan 17(c), seharusnya tidak dilakukan (not alter course to port for a vessel on her port side)
    3. Ada indikasi kesalahan BJ yang tidak memberikan isyarat perhatian sebagaimana diatur pada aturan 34(d) - 5 suling/lampu sorot pendek ber-ulang2 (5 short blast or 5 flash rapidly)
    4. Komunikasi antara ke dua kapal menurut rekaman AIS juga tidak terdeteksi...

    ReplyDelete
  5. Suryo Hadi Seputro6 March 2013 at 23:33

    Terima kasih artikelnya Capt,..... sebenarnya COLREG sudah sangat jelas mengatur bagaimana seharusnya bernavigasi di laut, baik itu di open sea maupun channel. Tetapi sering kelalaian atau pemahaman yang kurang dari OOW maupun Nakhoda dan miskomunikasi antar kapal menyebabkan banyak terjadi kecelakaan di laut.

    ReplyDelete
  6. Captain…Salam Hormat, artikel yang sangat bergizi.
    Memang kurang dalamnya pemahaman para navigator terhadap COLREG menjadi point utama dari tragedi Bahuga vs Norgas, sehingga “human error” yang di gadang-gadang merupakan penyebabnya.Yah memang kenyataannya demikian disamping adanya karakter dari navigator yang egois,mau menang sendiri dan sikap penuh keraguan utk melakukan tindakan yang cepat dan nyata. Egois , mau menang sendiri …buat Bahuga mungkin merasa kapal yang harus bertahan dia merasa menang sehingga tidak menghiraukan peraturan lain buat kapal yang bertahan, bawa kapal Ro-ro khan bisa diistilahkan seperti nyetir becak, kapal bisa kurangi kecepatan setiap saat dan diputar-putar sekehendak kita, mesin stand by maneuver setiap saat dan kapal gak terlalu besar shg gak susah utk mermaneuver ekstrem, kenapa tdk dilakukan…terkadang di VHF ch.16 dari ro-ro terdengar “ kita lagi dikejar waktu bos”, utk mengalah aja susaaah banget ( Egois dan menang sendiri YEEESSS). Buat Norgas selain Egois, kenapa ubah haluannya dikit banget Cuma 5 derajat, khan menurut Colreg perubahan haluan utk menghindari bahaya tubrukan harus besar dan bisa segera di pantau oleh kapal lain shg tdk menimbulkan keraguan.tentunya tindakan ini tdk menimbulkan bahaya navigasi lain (Penuh keraguan YESSS). Yah mungkin mualimnya takut kapal terlalu jauh keluar dari garis haluan..celakanya lagi terkadang ada nakhoda yang tanpa merasa berdosa kasih standing order”Keep course line Strictly” yah udahlah mualim berlayar pakai kaca mata kuda. CMIIW..
    Sebagai seorang navigator kita juga ingin sampaikan uneg-uneg dan kritik buat yang berwenang di wilayah selat sunda agar navigator gak salah melulu.dari pengalaman berlayar melalui selat sunda tragedi-tragedi sejenis seperti tubrukan Bahuga dan Norgas tinggal tunggu waktu dan sangat mudah terulang…kalau memang situasi dan kondisi di selat sunda tidak berubah. Ada beberapa point yang urgent utk direalisasikan di selat sunda shg akan membuat navigator nyaman utk melayarinya, antara lain: 1. Separation Zone yang memisahkan Ro-ro yang dari merak dan Ro-ro yang dari Bakauheni, Separation Zone ini dibuat dengan lebar yang cukup buat kapal niaga bermaneuver setelah menghindari konvoi ro-ro dari salah satu arah, agar bisa bersiap mengahadapi konvoi ro-ro dari arah yang satunya lagi, yang terpenting separation zone ini harus steril dari ro-ro 2. Di buat Vessel Movement Monitoring System and Reporting System buat kapal-kapal yang melintasi selat sunda , termasuk ro-ro yang bertolak atau tiba, tentunya ditentukan VHF Channel yang di pakai dan Reporting pointnya, station ini punya tugas memberikan instruksi dan memantau pergerakan kapal-kapal yang melayari selat sunda 3. Di buat peraturan tambahan seperti batasan kecepatan yang diijinkan, keharusan nakhoda berada di anjungan selama kapal crossing separation Zone etc yang bisa mendukung dipatuhinya point 1 dan 2. Untuk point-point yang lain bisa dipikirkan oleh petinggi2 hubla yang notabene hampir semuanya M.MAR, jadi gak susahlah. Apabila point-point tersebut sudah ada…tentunya seperti yang dinyatakan dalam artikel di atas bahwa pertumbuhan kapal semakin pesat tidak akan ada masalah lagi melintasi Selat sunda. CMIIW

    ReplyDelete
  7. Permisi Capt. Yang mana benar port to port artinya bertemu d sisi lambung kiri kapal atau masing2 ubah haluan ke kiri sehingga bertemu pada lambung kanan kpl.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Harusnya diartikan "saling bertemu pd lambung kiri masing2 kpl". Kalo sesuai colreg hrnya ga usah disebutkan (aturan 14)

      Delete
    2. Harusnya diartikan "saling bertemu pd lambung kiri masing2 kpl". Kalo sesuai colreg hrnya ga usah disebutkan (aturan 14)

      Delete
  8. Bagaimana jika kapal sedang anker/berlabuh jangkar dan mesin tidak dapat di olah gerak, sedangkan cuaca sedang buruk, semua kapal disekitar mengalami dragging. Apakah kapal yg mengalami kerusakan mesin tersebut perlu menyalakan 2 merah bersusun tegak? Mungkin maksut syahbandar itu harusnya menyalakan lampu bersusun tegak merah walaupun kapal sedang anker/berlabuh jangkar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pak Susetya, sdh sy tuliskan di atas, pemasangan sosok benda atau penerangan spt itu adalah untuk kpl kandas (baca Colreg aturan 30.d). Pemerintah RI ato syahbandar setempat boleh buat aturan tp jngan sama dng aturan yg sdh ada di colreg. Misalnya: selain bola/penerangan labuh jangkar, ditambah satu kerucut disiang hari dan 3 penerangan keliling warna merah susun tegak

      Delete
  9. Jika kapl sedang anker dan mengalami kerusakan mesin, sedangkan cuaca buruk sehingga menyebakan kapal tsb dan kapal2 lain di sekitar dragging. Apakah perlu menghidupkan bola lampu merah bersusun tegak? Mungkin maksud syahbandar adlh bila terjadi hal2 semacam itu.

    ReplyDelete
  10. Terimakasih atas pengetahuannnya Bapak, dan mohon ijin share link artikel Bapak ini.

    Hormat saya
    Pulung Wasesa Bayu Aji

    ReplyDelete
  11. Isin membaca dan absen Capt...TOT 15-23 Des 2021

    ReplyDelete
  12. Terima kasih banyak Capt atas ilmunya 🙏

    ReplyDelete