Konvensi STCW-F menetapkan persyaratan minimum pelatihan dan sertifikasi untuk awak kapal penangkap ikan yang berlayar di laut lepas dengan panjang 24 meter atau lebih. Konvensi ini terdiri dari 15 pasal (Article) dan lampiran yang berisi peraturan-peraturan teknis.
Konvensi STCW-F telah diratifikasi oleh 15 negara: Kanada, Denmark, Islandia, Kiribati, Latvia, Mauritania, Maroko, Namibia, Norwegia, Palau, Federasi Rusia, Sierra Leone, Spanyol, Republik Arab Suriah dan Ukraina, dan juga oleh Faroes, Denmark.
Pelaut kapal perikanan Indonesia
Bagaimana dengan pelaut-pelaut kita?
Seperti kita ketahui, pelaut-pelaut kita banyak yang bekerja di kapal-kapal
perikanan, baik itu kapal-kapal penangkap ikan maupun kapal pengolah ikan di
laut. Baik di dalam maupun di luar negeri. Di kapal berbendera Indonesia maupun di kapal
berbendera asing, kiranya dengan diberlakukannya STCW-F 1995 ini, akan menimbulkan
dampak yang serius terhadap nasib ribuan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal
ikan (terutama kapal berbendera asing).
Selama ini, pemerintah Indonesia
memberlakukan dua jenis sertifikat kompetensi untuk para pelaut kita, yaitu sertifikat Ahli Nautika dan Ahli
Tehnika untuk kapal niaga (bukan perikanan), sertifikat ANKAPIN dan ATKAPIN (Ahli
Nautika Kapal Ikan dan Ahli Teknika Kapal Ikan) untuk kapal-kapal perikanan.
Ahli Nautika dan Ahli Nautika berkiblat
pada STCW 1978, dan Indonesia sudah meratifikasi sejak tahun 1986, serta telah
diakui secara internasional, dengan pengakuan Indonesia menjadi salah satu negara yang
masuk kedalam IMO White-list dalam
pelaksanaan STCW 1978. Sedangkan untuk ANKAPIN dan ATKAPIN diterbitkan
berdasarkan ketentuan Nasional. Oleh karena itu kita sering mendengar bahwa
pemegang sertifikat ANKAPIN dan ATKAPIN belum mendapatkan pengakuan secara
internasional, sehingga Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjenhubla)
memfasilitasi upaya penyetaraan sertifikat dari ANKAPIN ke Ahli Nautika dan
ATKAPIN ke Ahli Tehnika, agar pelaut kapal ikan kita dapat bekerja di
kapal-kapal asing, dan berlayar ke luar negeri.
Saya membaca dari berbagai media online tentang nasib pelaut kapal ikan
Indonesia, sangat memprihatinkan. Coba baca berita online yang dilansir oleh
harian Pikiran Rakyat pada tanggal 26
September 2012 di http://www.pikiran-rakyat.com/node/197358.
Bahwa banyak pelaut Indonesia di kapal-kapal ikan Korea terancam diturunkan dan
perusahaan kapal ikan korea tidak mau menerima pelaut dari Indonesia karena
mereka banyak yang melarikan diri dari kapal dan bekerja di darat (Korea).
Harian Suara Pembaruan
tanggal 25 September juga memberitakan bahwa diperkirakan 80% pelaut asing
banyak yang bekerja di kapal-kapal perikanan Indonesia. Berita selengkapnya di:
Dengan berlakunya STCW-F 1995 pada
tanggal 29 September 2012, maka mau tidak mau, pemerintah Indonesia harus
segera meratifikasi konvensi ini, mengingat banyak pelaut Indonesia yang
bekerja di kapal ikan asing dan banyaknya kapal asing yang masuk wilayah
Indonesia, serta orang asing yang bekerja di kapal ikan Indonesia.
Salah satu kendala bagi pelaut kapal
ikan kita adalah kata ‘Nelayan’. Pada umumnya, yang kita sebut ‘nelayan’
tersebut mayoritas dengan latar belakang pendidikan umum yang rendah. Mungkin
banyak juga diantara nelayan kita justru tidak pernah mengenyam pendidikan umum
yang layak. Lebih memprihatinkan lagi kalau mereka ada yang "buta huruf". Kalau mereka bertahan pada kapal2 dibawah 24 meter memang tidak
terpengaruh dengan berlakunya STCW-F 1995 ini. Namun perlu diingat bahwa salah
satu instrumen hukum IMO juga ada yang mengatur tentang keselamatan kapal2 ikan
kecil di bawah 24 meter (Safety measure
for small fishing vessels, Code of Safety and the Voluntary Guidelines on fishing
vessels below 12 m in length, and undecked fishing vessels of any size).
Berita selengkapnya dapat di baca di
http://www.imo.org/OurWork/Safety/Regulations/FishingVessels/Pages/Default.aspx.
Sangat
dimungkinkan ketentuan untuk pelaut kapal ikan kecil juga akan diatur secara
internasional. Maka hal ini harus diwaspadai dan diantsispasi secara dini agar
nantinya tidak menjadi beban berat bagi kita untuk melaksanakannya.
Berbeda dengan STCW 1978 yang berlaku
untuk semua kapal yang berlayar di laut tanpa melihat ukuran dan jenisnya, STCW-F 1995 hanya diberlakukan untuk
kapal-kapal perikanan yang panjangnya 24 meter atau lebih. Sehingga kapal-kapal
ikan yang panjangnya kurang dari 24 meter terbebas dari ketentuan konvensi ini.
Tentunya kita dapat mengatur sendiri di dalam Indonesian NCVS (Non
Convention Vessel Standard) yang telah diberlakukan sejak tahun 2010 yang
lalu.
Mengingat STCW-F 1995 ini adalah
instrumen hukum dari IMO, dan Administration
IMO di Indonesia adalah Ditjenhubla, maka pelaksanaannya adalah merupakan
tanggung jawab Ditjenhubla. Dengan demikian Pusbang SDM Hubla akan bertambah
lagi tugas-tugasnya untuk menyusun kurikulum dan silabus berdasarkan STCW-F
1995 ini, sedangkan Ditjenhubla dan Pusbang SDM Hubla saat ini sedang dibebani
tugas berat berkaitan dengan pemberlakuan STCW 1978 amandemen Manila 2010. Mudah-mudahan Pusbang SDM dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mampu bekerja sama dengan Pusbang SDM Hubla, serta semua pemegang kepentingan dapat membantu agar pelaksanaan STCW-F di Indonesia dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan, sehingga ribuan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing dapat diselamatkan
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada tanggal 9 – 11 Oktober 2012 (yang akan datang), IMO juga akan menyelenggarakan
Konferensi Diplomatik untuk mempertimbangakan dan mengadopsi Torremolenos Protokol 1993, yaitu protokol dari konvensi
Internasional tentang keselamatan kapal ikan, yang pertama di adopsi di
Torremolenos, Spanyol pada tahun 1977 dengan nama 1977 Torremolinos International Convention for the Safety of
Fishing Vessels. Konferensi diplomatik tersebut akan dilaksanakan di Cape Town, Afrika Selatan.
Delegasi Indonesia pada sidang-sidang IMO sebelumnya, banyak memberikan
kontribusi dalam penyusunan konsep protocol ini pada sidangnya tahun 2007 –
2011, khususnya pada sidang-sidang sub komite SLF (Stability and Load Lines and Fishing Vesseles) yang mampu
memberikan perimbangan antara keinginan negara-negara Eropa dan negara-negara
Asia, mengingat konstruksi kapal-kapal Eropa berbeda dengan kapal-kapal ikan di
Asia. Selain itu, Indonesia juga pernah menjadi tuan rumah dalam loka-karya
tentang keselamatan kapal ikan ini di Bali tahun 2010, dan Ketua Sidang pada
loka-karya tersebut adalah juga dari Indonesia. Namun saya tidak tahu sejauh
mana pemerintah Indonesia mempersiapkan keikut-sertaannya dalam Konverensi Diplomatik
bulan Oktober ini, baik dari Ditjenhubla, Kementerian Kelautan dan Perikanan
serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya…….???
So, what we can do, let do it together.....from now...! Whoever you are, wherever
you are, whatever your position, I beleive you could contribute to our beloved
country....Indonesia........Jayalah negeriku....jayalah
bangsaku...!