Pada tanggal
20 Juli 2012 yang lalu, saya pernah menulis di blog ini tentang upaya untuk
meningkatkan keselamatan bagi kapal-kapal penumpang oleh negara-negara anggota
IMO melalui sidang Maritime Safety
Committee (MSC) sebagai rasa empati terhadap musibah tenggelamnya kapal
Costa Concordia di perairan Italia, dengan merevisi Peraturan III/17-1 dari
pada SOLAS 1974.
Rekomendasi
awal yang pernah diumumkan oleh sekretariat IMO kepada para pemilik dan/atau
operator kapal untuk meningkatkan keselamatan bagi kapal-kapal penumpang adalah
melalui Surat Edaran (Circular) nomor
MSC.1/Circ.1446, yang kemudian pada sidang MSC yang ke 91 d revisi menjadi
MSC.1/Circ.1446/rev.1. Pada sidang MSC sesi ke 92 yang dilaksanakan dari
tanggal 12 – 21 Juni 2013 yang lalu para anggota IMO yang hadir sepakat untuk
me revisi kembali surat edaran yang telah ada menjadi MSC.1/Circ.1446/Rev.2.
Pokok-pokok
yang terkandung pada MSC.1/Circ.1446/Rev.2
Pada prinsipnya pesan utama yang terkandung pada
MSC.1/Circ.1446/Rev.2 adalah ditujukan kepada pemilik kapal dan operator kapal
khususnya kapal penumpang, untuk lebih meningkatkan pengaturan dan pengawasan
terhadap pengoperasian kapal-kapalnya dalam upaya meningkatkan keselamatan jiwa
manusia, khususnya penumpang di atas kapal.
Pokok-pokok yang di sampaikan pada circular tersebut
antara lain:
1.
Pengaturan
tentang rompi penolong di kapal penumpang (Lifejackets on board passenger ships),
selain dari pemenuhan terhadap Peraturan III/17 dan III/22 Solas 1974, ditambah
dengan ketentuan tentang kesamaan rompi penolong yang diletakkan di geladak
atau tempat berkumpul (Muster/assembly point) sehingga memudahkan cara
pemakaian oleh para penumpang, dan pengaturan bagi rompi penolong yang di dalam
ruang penumpang, harus dapat mudah dilihat dalam keadaan penerangan yang sangat
minim.
2.
Petunjuk keadaan darurat untuk para
penumpang (emergency instructions for passengers). Pada circular ini sidang meminta kepada semua operator
kapal penumpang untuk meninjau kembali bagaimana petunjuk keadaan darurat
disebar-luaskan dan dapat diketahui oleh semua penumpang dengan jelas, termasuk
penggunaan bahasa yang dapat dimengerti oleh semua penumpang. Selain itu,
operator kapal juga diminta untuk memperhatikan perlunya informasi tambahan
melalui video, dan sebagai tambahan dari ketentuan SOLAS, bila diperlukan,
ditambah dengan ‘kartu informasi keadaan darurat’ (emergency information card).
3.
Lepas dari ketentuan pada bab III
SOLAS, operator kapal wajib memperhatikan 12 elemen umum tentang petunjuk
berkumpul dan petunjuk dalam keadaan darurat (Common elements of musters and emergency
instructions). Ke 12 elemen tersebut adalah:
a.
Kapan dan bagaimana cara memakai
rompi-penolong;
b.
Rincian tentang tanda-tanda keadaan
darurat yang berbeda dan bagaimana respon yang seharusnya bila terjadi terhadap
keadaan darurat yang berbeda tersebut;
c.
Tempat dari semua rompi-penolong
yang ada di atas kapal;
d.
Di tempat mana harus berkumpul
apabila tanda keadaan darurat berbunyi;
e.
Bagaimana cara menghitung penumpang
di tempat berkumpul baik pada waktu latihan maupun pada kejadian yang
sesungguhnya;
f.
Bagaimana infromasi akan diberikan
apabila terjadi keadaan darurat;
g.
Apa yang diharapkan apabila nakhoda
kapal memerintahkan harus dilakukan evakuasi meninggalkan kapal;
h.
Informasi tambahan apa yang
disediakan di kapal;
i.
Petunjuk tentang apakah perlu para
penumpang harus kembali ke kamarnya masing-masing sebelum menuju tempat
berkumpul, misalnya menyiapkan obat-obatan, baju yang harus dikenakan dan wajib
mengenakan rompi-penolong;
j.
Diskripsi tentang kunci sistim
keselamatan dan rincian kelebihannya (description of key safety systems and features);
k.
Penunjukan rute dan jalan
keluar bila terjadi keadaan darurat (emergency
routing systems and recognizing emergency exits); dan
l.
Dalam keadaan darurat, siapa
saja yang dapat dimintai informasi tambahan oleh paara penumpang.
4.
Kebijakan operator kapal
tentang wajib latihan keadaan darurat bagi penumpang (passengers muster policy). Apabila kapal akan berlayar lebih dari
24 jam, penumpang yang baru naik kapal wajib mengikuti latihan keadaan darurat
sebelum kapal berlayar. Ababila terdapat penumpang yang naik kapal setelah
latihan dilaksanakan, maka ia/mereka harus diberikan brifing secara individu
atau kelompok. Untuk membantu Nakhoda dalam menyusun ‘Muster List’, operator kapal
harus memberikan informasi tentang kompetensi setiap kapal, bila mungkin secara
otomatis bahwa orang yang tidak mampu melaksanakan tugas tertentu akan ditolak
oleh sistim bila ia dimasukkan dalam daftar orang yang terlibat dalam keadaan
darurat.
5.
Operator kapal wajib membuat aturan dan
pengaturan yang ketat tentang orang yang dapat masuk anjungan, agar tidak
mengganggu Nakhoda dan navigator lainnya pada saat mengoperasikan kapal.
6.
Operator kapal wajib membuat harmonisasi
prosedur navigasi di anjungan dari tiap-tiap kapal yang dimilikinya, dengan
memperhatikan kekhususan tiap-tiap kapal.
7.
Operator kapal penumpang wajib
mengawasi secara ketat pelaksanaan pembuatan Rancangan Pelayaran, yang harus
sesuai dengan Guidelines for voyage planning (resolution
A.893(21)) dan bila dianggap tepat, sesuai dengan the Guidelines on voyage
planning for passenger ships operating in remote areas (resolution
A.999(25)).
8.
Operator kapal wajib membuat catatan
rekaman (record) kebangsaan dari semua
penumpang yang ada di atas kapal.
9.
Kewajiban operator kapal untuk
membuat prosedur memasuki sekoci penolong pada waktu latihan penurunan sekoci
sesuai dengan ketentuan SOLAS.
10.
Operator kapal wajib membuat
prosedur berkaitan dengan benda berat di atas kapal yang harus di ikat (lashing) dan dituangkan kedalam Ship Management System (SMS).
11.
Operator kapal juga diwajibkan
menyedakan suatu sistim dimana olengan kapal selama pelayaran, tercatat pada Voyage Data Recorder (VDR).
Dengan disetujui surat edaran (Circular)
MSC.1/Circ.1446/Rev.2 ini, diharapkan pemilik kapal dan/atau operator lebih
memperhatikan kesiapan kapalnya dalam upaya mengurangi hilangnya jiwa manusia
di laut. Circular ini terinspirasi oleh tema IMO pada tahun 2012, yaitu ‘100
years of the Titanic’.
Walaupun circular tersebut ditujukan kepada operator
kapal, tentunya pada akhirnya menjadi tanggung jawab Nakhoda dan Awak kapal
untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, teman-teman pelaut kiranya mulai
sekarang harus siap, agar tidak terkejut kalau ada perintah-perintah dari
perusaaan tentang hal tersebut di atas.