Pendahuluan:
Indonesia secara resmi menjadi anggota IMO sejak tanggal 18 Januari 1961, dan selama ini senantiasa aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan yang dijadwalkan oleh sekretariat IMO. Sebagai anggota IMO yang sudah lama, sudah sepantasnya Indonesia dikukuhkan menjadi anggota Dewan IMO (Member of IMO Council) karena dalam forum sidang Dewan inilah kepentingan nasional dapat banyak terakomodir dan dapat ikut menentukan kebijakan-kebijakan organisasi.
Indonesia pertama kali mencalonkan dan terpilih menjadi anggota Dewan IMO pada tahun 1973, untuk periode keanggotaan 1974 – 1975. Dua periode keanggotaan berikutnya, yaitu 1976-1977 dan 1978-1979 Indonesia masih terpilih sebagai anggota Dewan IMO. Indonesia mengalami kegagalan mencalonkan diri pada 2 periode berikutnya yaitu periode keanggotaan 1980-1981 dan 1982-1983. Pada sidang Assembly ke 13 yaitu pada tahun 1983, Indonesia terpilih kembali menjadi anggota Dewan IMO, dan selalu terpilih sampai saat ini (15 periode berturut-turut).
Pada pemilihan angota Dewan pada sidang Assembly ke 25 tahun 2007, ranking Indonesia naik secara significant dibandingkan dengan tahun-than sebelumnya. Pada tahun 2005, Indonesia hanya menempati ranking ke 8 dari 20 anggota Dewan kategori c, namun pada tahun 2007 menduduki ranking 4 (mendapat 113 suara), dan hanya terpaut 1 suara dibanding dengan ranking ke 2 dan 3 (Bahama dan Cyprus memperoleh 114 suara). Pada sidang Assembly ke 26 tahun 2009 dukungan terhadap Indonesia lebih meningkat yaitu menjadi 132 dan menduduki peringkat ke 3 setelah Singapura dan Cyprus. Hal ini menunjukkan kepercayaan negara lain terhadap Indonesia makin meningkat. Dengan meningkatnya jumlah negara yang mendukung Indonesia ini, maka tugas Indonesia di kancah internasional semakin berat karena harus menunjukkan kemampuan dan dedikasinya terhadap organisasi secara consistent. Upaya-upaya diplomasi dan peningkatan kinerja dibidang teknis untuk ikut serta meningkatkan keselamatan dan keamanan maritim serta perlindungan lingkungan laut adalah merupakan tugas dan tangung jawab yang tidak ringan bagi Indonesia. Untuk itu diperlukan kerja-sama semua pihak yang terkait, antar kementerian, baik dalam pengaturan maupun pelaksanaan teknis.
Tidak kalah pentingnya peran para stake-holder seperti operator kapal, badan-badan usaha di sub-sektor transportasi laut serta masyarakat luas pengguna jasa transportasi laut.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang eksistensinya telah diakui berdasarkan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982), pengakuan eksistensi sebagai negara maritim terbesar dalam berbagai forum internasional masih tetap diperlukan, termasuk dalam forum Sidang Council dan Sidang Assembly di IMO.
Hingga saat ini Indonesia telah meratifikasi 16 (enam belas) Konvensi IMO, yang merupakan aturan di bidang keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan laut, dan merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang paling banyak meratifikasi Konvensi IMO, serta telah memperoleh banyak manfaat dalam rangka menjaga keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan laut di wilayah perairan Indonesia.
Adanya perobahan terhadap peraturan2 internasional melalui instrumen2 IMO tentu saja akan menimbulkan dampak dan konsekuensi bagi setiap negara yang meratifikasi, sehingga perlu adanya upaya2 untuk mengantisipasi dampak perobahan tersebut, agar dapat melaksanakan setiap konvensi yang telah diratifikasi secara penuh dan bertanggung jawab.
Sekilas tentang International Maritime Organization (IMO)
International Maritime Organization (IMO) adalah merupakan salah satu badan khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani masalah-masalah kemaritiman. Didirikan berdasarkan Konvensi pembentukannya pada tanggal 6 Maret 1948 di Jenewa dan mulai berlaku pada tanggal 17 Maret 1958. IMO melaksanakan sidang pertama kalinya pada tahun 1959. Pada awal pembentukannya bernama Inter-Governomental Maritime Consultative Organization (IMCO). Sejak tanggal 1 Mei 1982 namanya berobah menjadi International Maritime Organization, di singkat IMO. Pada saat ini IMO bermarkas di: 4 Albert Embankment, London SE1 7SR, United Kingdom.
Sekretariat IMO di pimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang di pilih setiap 4 tahun sekali, dibantu oleh para Direktur yang memimpin setiap Devisi. Divisi pada sekretariat IMO yaitu:
1. Maritime Safety Division,
2. Marine Environment Protection Division,
3. Legal Affairs and International Relation Division,
4. Conference Division,
5. Technical Co-operation Division, dan
6. Administrative Division
Pada tahun 2011 anggota IMO telah mencapai 170 negara (termasuk Indonesia), ditambah 3 negara anggota assiciate (Associate Member).
Struktur Organisasi IMO dalam pengambilan keputusan, dilaksanakan melalui forum sidang Assembly, sidang Council dan 5 sidang Committee, yaitu: Maritime Safety Committee (MSC), Marine Environment Protection Committee (MEPC), Legal Committee (LEG), Technical Cooperation Committee (TCC) dan Facilitation Committee (FAL).
1. Assembly atau Majelis IMO, merupakan lembaga tertinggi IMO (IMO highest Governing-Body) yang terdiri dari seluruh negara anggota IMO, yang saat ini berjumlah 169 negara, bersidang sekali dalam dua tahun pada jadwal reguler, atau Setiap saat bila dianggap perlu. Assembly bertanggung jawab untuk menentukan program kerja, voting anggaran dan menentukan pengaturan keuangan dalam organisasi. Assembly juga bertugas melaksanakan pemilihan anggota Dewan (Council).
2. Council, atau Dewan IMO adalah semacam "Governing Body" dalam IMO yang melaksanakan tugas-tugas organisasi IMO di antara dua masa Sidang Majelis. Dewan IMO merupakan badan executive di bawah Assembly, bertanggung jawab melaksanakan pengawasan terhadap kerja organisasi. Tugas-tugas lain dari Dewan yaitu:
a. Meng-koordinasi-kan kegiatan badan-badan IMO yang lain,
b. Memperhatikan rancangan anggaran dan program kerja yang harus disampaikan kepada sidang Assembly,
c. Menerima laporan dan usulan dari Committee dan organ IMO yang lain serta dari Negara-negara anggota untuk diteruskan ke Assembly dengan beberapa masukan dan rekomendasi yang tepat.
d. Mengusulkan dan memilih calon Sekretaris Jenderal, yang kemudian di syahkan dalam sidang Assembly.
e. Melakukan upaya pengaturan dan kerja sama dengan berbagai organisasi di luar IMO, yang kemudian disyahkan melalui sidang Assembly.
Dewan IMO beranggotakan 40 negara anggota IMO (sejak 7 Nopember 2002). Dari ke 40 negara anggota Dewan IMO tersebut terbagi dalam 3 kategori yaitu:
a. Kategori “a”, terdiri dari 10 negara yang mewakili armada pelayaran niaga internasional terbesar dan sebagai penyedia angkutan laut internasional terbesar,
b. Kategori “b”, terdiri dari 10 negara yang mewakili kepentingan maritime terbesar dalam menyediakan “International Ship-borne Trade”,
c. Kategori “c”, terdiri dari 20 negara yang mempunyai kepentingan khusus dalam angkutan laut atau navigasi, dan mencerminkan perwakilan yang adil secara geografis.
Pemilihan anggota Dewan IMO dilaksanakan 2 tahun sekali, yaitu pada saat dilaksanakan sidang Assembly. Negara-negara anggota yang ingin menjadi anggota Dewan wajib menyampaikan surat kepercayaan (credentialletter) ke Sekretaris Jendral IMO untuk mencalonkan diri pada kategori yang mereka inginkan. Pada saat sidang Assembly, Negara-negara yang mencalonkan sebagai anggota Dewan IMO akan diminta untuk menyampaikan pandangan umum dan tujuan pencalonannya, sebelum pemilihan dilaksanakan.
3. Committee, adalah bagian tubuh IMO yang mengolah aturan2 produk IMO untuk disampaikan ke sidang Dewan. Terdapat 5 Committee yaitu:
a. Maritime Safety Committee (MSC), yaitu komite yang menangani pengaturan2 masalah keselamatan dan keamanan pelayaran (maritime safety and security) seperti: keselamatan navigasi, stabilitas kapal, konstruksi pembangunan kapal, komunikasi maritime, keamanan maritime dari anccaman perompakan di laut dan sejenisnya.
b. Marine Environmet Protection Committee (MEPC), komite yang menangani pengaturan2 tentang perlindungan terhadap pencemaran laut, termasuk pencemaran udara dari kapal2 laut.
c. Legal Committee (LEG), yaitu komite yang menangani tentang pengesahan aturan2 yang akan diberlakukan oleh IMO.
d. Technical Cooperation Committee (TCC), yaitu komite yang mempunyai tugas untuk membahas negara2 yang memerlukan bantuan teknis dalam kaitannya dengan implementasi instrumen2 IMO.
e. Facilitation Committee (FAL), yaitu komite yang menangani masalah pengaturan permasalahan dokumen2 yang harus dibawa oleh kapal-kapal, membantu menjembatani antar negara dalam implementasi instrumen2 IMO sehingga tidak terjadi kerancuan serta upaya menghindari adanya keterlambatan operasi kapal-kapal berkaitan dengan dokumentasi kapal yang masuk wilayah negara lain.
Dalam bekerja, Komite (Committee) membentuk sub-sub komite (Sub-Committee) yaitu:
a. Bulk Liquids and Gases (BLG), yang bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan mengenai pemadatan dan transportasi muatan cair dan gas secara curah dengan menggunakan kapal-kapal laut, termasuk bahan2 kimia dan cairan untuk penanganan polusi laut (dispersant).
b. Carriage of Dangerous Goods, Solid Cargoes and Containers (DSC), bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan mengenai pemadatan dan transportasi muatan berbahaya, muatan kering dan peti kemas,
c. Fire Protection (FP), bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan mengenai pencegahan kebakaran di kapal-kapal,
d. Radio-communications and Search and Rescue (COMSAR) bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan mengenai komunikasi radio di kapal dan pengaturan tentang SAR (Search and Rescue = pencarian dan pertolongan),
e. Safety of Navigation (NAV) bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan mengenai alat bantu navigasi dan alur-alur pelayaran untuk keselamatan pelayaran serta aturan pencegahan tubrukan di laut,
f. Ship Design and Equipment (DE) bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan mengenai bangunan kapal dan semua peralatan di kapal berkaitan dengan keselamatan operasi kapal,
g. Stability and Load Lines and Fishing Vessels Safety (SLF) bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan mengenai perhitungan stabilitas kapal, lambung timbul, dan ketentuan keselamatan kapal-kapal penangkap ikan,
h. Standards of Training and Watchkeeping (STW) bertugas membuat rancangan-rancangan ketentuan mengenai pendidikan, pelatihan dan sertifikasi untuk para pelaut dan pihak-pihak yang bekerja pada sector maritim.
i. Flag State Implementation (FSI) bertugas membuat rancangan-rancangan ketentuan mengenai pelaksanaan instrument-instrumen IMO di negara-ngara anggota IMO dan neggara-negara bukan anggota IMO.
Oleh karena keterbatasan waktu sidang yang telah di jadwalkan, dalam sidang-sidang committee dan sub-committee selalu dibentuk kelompok kerja (Working-Group), kelompok korespondensi (Correspondence-Group) atau kelompok drafting (Drafting-Group). Sering kali, dilaksanakan pula sidang-sidang antar waktu (Intersessional meeting) bilamana diperlukan (jadwal sidang IMO tahun 2010 terlampir).
Standard of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 1978 dan Seafarers Training, Certification and Watchkeeping (STCW) 1995
Sebelum pemberlakuan STCW, rambu2 internasional kompetensi bagi pelaut setingkat perwira, dituangkan ke dalam konvensi SOLAS (Safety of Life at Sea) pada Bab V (Safety of Navigation), dan beberapa ketentuan untuk awak kapal bukan setingkat perwira, diatur oleh masing2 negara anggota IMO.
Mengingat makin kompleksnya permasalahan yang timbul terhadap faktor keselamatan pelayaran yang disebabkan oleh ketidak-pastian kompetensi pelaut dan tidak adanya keseragaman diantara negara anggota IMO dalam melaksanakan pendidikan kepelautan, maka negara-negara anggota IMO sepakat untuk membuat konvensi internasional, khusus untuk mengatur kompetensi bagi mereka yang akan bekerja di kapal.
Maka dibentuklah sub-komite yang membahas tentang rancangan STCW tersebut. Dinamakan sub-komite STW (Standards of Training and Watchkeeping). Setelah melalui beberapa sesi sidang sub-komite STW, setelah mendapat pengesahan pada sidang MSC (Maritime Safety Committee) dan pengukuhan pada sidang Council, maka pada tanggal 7 Juli 1978 rancangan STCW dapat diterima oleh semua anggota IMO melalui sebuah Diplomatic Conference, dan pada tanggal 28 April 1984, STCW 1978 diberlakukan secara penuh. Indonesia meratifikasi STCW 1978 melalui Kepres 60 tahun 1986.
Dalam perjalanannya, STCW mengalami perobahan dari tahun ke tahun. Perobahan (amendment) yang terbesar terjadi pada tahun 1995, dengan diadopsinya konvensi yang di dalamnya terdapat Seafarer’s Training, Certification and Watchkeeping Code (STCW Code 1995), yang tidak terpisahkan dengan konvensi STCW 1978.
Dengan diberlakukannya STCW 1978 amendment 1995, diharapkan terdapat keseragaman dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kepelautan secara internasional, karena STCW amendment 1995 tidak hanya mengatur secara umum ketentuan batas kompetensi pelaut, namun pada 'Code' nya, berisi tentang kurikulum dan sylabus yang wajib (mandatory) serta yang disarankan (recommended) dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan kepelautan, yang meliputi: competence, knowledge, understanding, dan profeciency. Termasuk metode bagaimana mengukur kompetensi yang diharapkan.
Dengan keseragaman pelaksanaan diklat kepelautan tentunya diharapkan kompetensi pelaut secara internasional dapat setara, paling tidak pada tingkat batas minimal untuk menjamin keselamatan pengoperasian kapal dapat di ukur secara lebih baik.
Selanjutnya sidang-sidang STW masih berlangsung tiap tahun untuk mengakomodir adanya kesulitan dan kerancuan yang mungkin timbul dalam melaksanakan STCW. Maka pada sidang STW ke 38 tahun 2007 muncullah agenda sidang dengan judul “Comprehensive review to the STCW” yang merupakan agenda sidang untuk merevisi STCW secara menyeluruh, mengingat terlalu banyaknya kerancuan yang terdapat pada STCW yang ada pada saat itu. Puncak dari revisi menyeluruh tersebut adalah pada sidang STW 41 tahun 2010 dengan diterimanya rancangan perobahan STCW dan setuju untuk dibawa ke sidang Diplomatic Conference di Manila pada bulan Juni 2010.
Dampak dan antisipasi indonesia terhadap amendments STCW
Sejak diberlakukannya STCW 1978 pada 28 April 1984, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai hal untuk dapat mensejajarkan pelaut Indonesia dengan pelaut negara lain dan dapat diterima secara internasional. Maka pada tahun 1986 pemerintah Indonesia memutuskan untuk meratifikasi STCW 1978 dengan segala konsekuensinya.
Sampai saat ini pemerintah Indonesia sangat memperhatikan perobahan2 yang terjadi pada STCW, termasuk upaya keras sehingga Indonesia masuk kedalam “IMO White-list” pada sidang Assembly ke 21 bulan November 1998, dimana Indonesia termasuk salah satu negara anggota IMO yang pertama kali masuk ke dalam “IMO White-list”.
Menempatkan Atase Perhubungan di KBRI London adalah juga merupakan keinginan kuat pemerintah Indonesia untuk tetap mengawal perobahan terhadap instrumen2 IMO, termasuk perobahan terhadap STCW (Tugas Pokok dan Fungsi Atase Perhubungan London selengkapnya dapat dilihat pada Surat Keputusan Menteri Perhubungan nomor 37 tahun 2007).
Di dalam STCW, terdapat 3 (tiga) pihak (party) yang sangat berkompeten agar STCW dapat dilaksanakan dengan baik yaitu:
1. Pemerintah (Administration), berkewajiban membuat instrumen2 hukum nasional (peraturan2) dan melakukan pengawasan terhadap terlaksanakannya STCW secara penuh (full and complete)
2. Perusahaan Pelayaran (Shipping company), berkewajiban mengawaki kapal2nya dengan tenaga yang sesuai dengan ketentuan STCW sebagaimana yang diatur oleh negara dimana bendera kapal dikibarkan, kewajiban memberikan pelatihan2 tambahan kepada awak kapalnya agar kompetensinya sesuai dengan ketentuan STCW, dan
3. Diklat Maritim (Education and Training Institution), berkewajiban menyediakan kurikulum, pengajar dan fasilitas diklat sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah (Quality Standard System).
Dengan perobahan2 STCW, tentunya pihak2 tersebut di atas telah menerima dampaknya.
Antisipasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap kemungkinan adanya perobahan2 STCW (dan instrumen hukum IMO lainnya), adalah dengan berpartisipasi aktif pada sidang2 yang dilaksanakan, mulai dari sidang Sub-komite, sidang-sidang komite, dan sidang2 kelompok korespondensi. Partisipasi aktif disini adalah bahwa delegasi Indonesia yang hadir pada sidang2 IMO telah dibekali dengan materi2 sidang untuk siap berdikusi dengan delegasi dari negara lain. Jadi tidak hanya mendengar dan mencatat hasil sidang.
Konsep dan usulan perobahan ketentuan, pada umumnya diawali pada sidang2 sub-komite. Pada tahapan ini, apabila pemerintah Indonesia mencermati setiap agenda sidang secara sungguh2, maka pemerintah Indonesia akan dapat berpartisipasi banyak terhadap upaya perobahan ketentuan yang sedang dan akan di bahas, dan dapat menyampaikan usulan2 yang menguntungkan Indonesia, serta mampu menolak usulan2 yang merugikan Indonesia, sehingga mampu mengurangi kesulitan dalam implementasinya pada waktu perobahan tersebut diberlakukan.
Masalah lain yang perlu menjadi perhatian Indonesia
Pada paragraph ini penulis ingin menyampaikan beberapa hal terkait dengan perkembangan diskusi pada sidang2 di IMO dan perkembangan di lapangan:
1. Munculnya berbagai kapal-kapal yang memerlukan pengoperasian khusus yang menuntut operator2 yang memiliki kompetensi yang memadai, adalah merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah Indonesia untuk menyediakan fasilitas diklat dan perangkat peraturannya, agar para pelaut Indonesia mampu bersaing dengan pelaut asing lainnya. Sebagai contoh adalah maraknya pengoperasian kapal2 Anchor Handling Tug Supply (AHTS) dan Dynamic Positioning System (DPS) serta Special Purpose Ships (SPS). Kecakapan khusus perlu dimiliki oleh para pelaut Indonesia tersebut agar mampu mengisi kesempatan2 yang ada. Hal ini dapat dilakukan apabila dari pihak pemerintah (Administrtion) maupun diklat maritim (Education and Training Institite) mampu mengantisipasi dan melakukan persiapan2 secara awal, mulai dari penyusunan peraturan, penyediaan sarana dan prasarana, serta tenaga pengajar/instrukturnya.
2. Bahwa pada tahun 2008, IMO mencanangkan kampanye “Go to sea” dengan harapan kekurangan pelaut pada saat ini dapat segera dapat diatasi. Dilain pihak, perusahaan pelayaran enggan untuk menerima calon pelaut sebagai ‘cadet’ dengan beberapa pertimbangan finansial, sehingga banyak ‘cadet’ di atas kapal dipekerjakan sebagai awak-kapal. Dari kesulitan mencari kapal untuk praktek berlayar, juga ditemukan beberapa bukti bahwa terdapat beberapa taruna diklat maritim yang terpaksa harus melakukan praktek berlayar di kapal-kapal yang tidak memenuhi ketentuan minimal sesuai dengan sertifikat yang akan diperoleh, yaitu tidak memenuhi fungsi-fungsi sesuai ketentuan STCW dan standard mutu (Quality Standards System) yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Sudah cukup lama, beberapa negara yang menyediakan tenaga pelaut juga mengeluh dengan tidak tersedianya akomodasi yang layak untuk ‘cadet’ yang sedang melakukan praktek berlayar. Untuk mengatasi kendala yang ada, kiranya keberadaan kapal latih untuk mendukung pencapaian pendidikan dan pelatihan kepelautan adalah merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda.
Kesimpulan dan saran
1. Setiap negara yang meratifikasi suatu konvensi internasional, memiliki kewajiban untuk melaksanakannya secara penuh (full and complete), termasuk perobahan yang terjadi atas konvensi yang di ratifikasi (melalui proses penerimaan perobahan atau Tacit Acceptance).
2. Sebagai anggota IMO dan terlebih menjadi anggota dewan IMO, Indonesia telah melakukan langkah2 partisdipatif dalam menyikapi perobahan peraturan internasional, namun kiranya masih perlu lebih meningkatkan partisipasi aktif dalam penyusunan instrumen2 IMO melalui sidang2 dan kegiatan lain terkait dengan kepentingan nasional RI (Republik Indonesia).
3. Mengingat kepentingannya, maka partisipasi aktif tidak hanya oleh pemerintah saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab semua pihak (negeri dan swasta) yang terkait dengan industri maritim, serta masyarakat luas pengguna jasa anggutan laut.
4. Menyadari adanya perobahan peraturan berawal dari suatu ‘konsep’ yang diajukan dan dibahas pada tingkat sidang sub-komite, maka Indonesia perlu memperhatikan rencana perobahan mulai dari tingkat awal, yaitu pada sidang-sidang sub-komite, dan mengawalnya secara konsisten agar konvensi yang kemudian diimplementasikan, dapat sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia.