Friday, 2 March 2018

Kewajiban Negara Anggota IMO atas pemberlakuan “Triple I Code”


Kata Pembuka
Sebelum tulisan ini, bulan lalu saya telah menulis dan mem-posting di blog saya tentang “Triple I Code” (https://hadisupriyono.blogspot.co.id/2018/02/sekilas-tentang-triple-i-code.html). Di akhir tulisan itu, saya berjanji akan melanjutkan tulisan tentang “triple i code”. Dengan tulisan ini penulis berharap kepada teman-teman semua, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan pelaksanaan (implementasi) Code ini dapat me-review kembali apa yang sudah dilakukan, apa yang sedang dilakukan, dan apa yang kedepan harus dilakukan. Khususnya bagi teman-teman yang bekerja di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, yang sejak diberlakukannya Code ini sudah sangat sibuk bekerja keras siang dan malam tanpa mengenal lelah demi kejayaan maritim Indonesia.

Review tulisan sebelumnya tentang “triple i code”
“III Code” atau popular dengan sebutan “Triple I Code” adalah “IMO Instrument Implementation Code”. Yaitu Code yang diadopsi pada sidang paripurna IMO sesi yang ke 28 pada tanggal 10 Desember 2013 melalui resolusi nomor Res.A.1070 (28).
Tujuan utama Triple I Code adalah untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan maritim serta pencegahan pencemaran lingkungan laut secara global serta membantu negara anggota IMO dalam mengimplementasikan konvensi yang telah diratifikasinya.
Dampak diberlakukannya Triple I Code ini adalah terdapatnya amandemen terhadap beberapa konvensi IMO yang disebut sebagai mandatory instrument. Konvensi yang mengalami perobahan-perobahan antara lain:
1.     SOLAS 1974, Protocol 1988
2.     MARPOL 1973/78
3.     STCW 1978
4.     Load Line Convention 1966
5.     Tonnage Measurement 1969, dan
6.     COLREG 1972
Pemberlakuan Triple I Code ini untuk tiap-tiap konvensi dan Code berbeda-beda. Misalnya Colreg 1972 (Penambahan Bagian F, Aturan 39, 40 dan 41) dan kebanyakan konvensi mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2016.

Beberapa Code yang terdampak terhadap pemberlakuan Triple I Code ini yaitu:
1.     SOLAS 1074/Protocol 1988:
·      FSS Code 11-2/3.22
·      FTP Code 11-2/3.23
·      LSA Code 111/3.10
·      CSS Code Sub Chapter 19, V1/2.2.1
·      Grain Code V1/8.1
·      IMDG Code V11/1.1
·      IBC Code V11/8.1 & MARPOL Annex II Reg.1(10)
·      IGC Code V11/11.
·      INF Code V11/11-2
·      ISM Code IX/1.1
·      1994 HSC Code X/1.1
·      2000 HSC Code X/1.2
·      Res. A.739(18) X1-1/1 – Recognized Organization Code (RO Code)

2.     MARPOL 1973/78
·      Res. MEPC 94(46) as amended Annex I Reg. 13G & 13H
·      BCH Code Annex II, Reg. 1(11)
·      Nox Tech Code

3.     STCW 1978
·      STCW Code Part A Reg 1/1.2.3
           
Kewajiban Negara Anggota IMO
Dalam memenuhi kewajiban mengimplementasikan konvensi dan code, hal-hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah pada waktu membuat kebijakan, peraturan, dan prosedur-prosedur terkait dengan peraturan yang ada sesuai Code ini adalah:
1.     Yurisdiksi (Jurisdiction). Bahwa peraturan-peraturan harus disusun dan dibuat oleh badan pemerintah yang berwenang membuat peraturan. Yang kemudian diundangkan oleh pemerintah. Dilaksanakan dan diawasi oleh institusi yang di tunjuk (Administration).
2.     Organisasi dan Otoritas (Organization and authority). Pembagian tugas masing-masing instansi pemerintah dalam implementasi harus jelas sehingga tidak ada tumpang tindih kekuasaan yang dapat membingungkan pengguna jasa maritim baik nasional maupun internasional.
3.     Legislasi, aturan dan peraturan (Legislation, rules and regulation). Peraturan harus dibuat dengan jelas sehingga tidak membinggungkan pihak-pihak yang menggunakannya. Termasuk penjelasan dan prosedur pelaksanaannya.
4.     Sosialisasi terhadap peraturan-peraturan internasional (Promulgation of the applicable international mandatory instruments, rules and regulation). Adanya ketentuan-ketentuan internasional yang baru harus disosialisasikan ke masyarakat umum pengguna jasa maritim sebelum dibuat ketentuan-ketentuan nasionalnya.
5.     Rencana pelaksanaan (Enforcement arrangements). Pemberlakuan tiap-tiap peraturan baru khususnya yang berasal dari ketetapan internasional wajib direncanakan secara terjadwal, sehingga tidak mengganggu operasi kapal pada khususnya dan bisnis maritim pada umumnya.
6.     Fungsi2: kontrol, survey, inspeksi, audit, verifikasi, pengakuan dan sertifikasi (Control, survey, inspection, audit, verification, approval and certification functions). Pelaksana fungsi2 tersebut harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
7.     Pemilihan, pengakuan, otorisasi, pemberdayaan SDM dan monitoring R/O’s dan nominasi untuk para Surveyor (Selection, recognition, authorization, empowerment and monitoring of recognized organizations, as appropriate, and of nominated surveyors).
8.     Hasil investigasi yang harus disampaikan ke IMO (Investigations required to be reported to the Organization). Hasil investigasi dari adanya penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan internasional dan langkah-langkah penanganannya wajib dilaporkan ke IMO.
9.     Pelaporan ke IMO dan Pemerintah negara lain (Reporting to the Organization and other Administrations). Sesuai dengan rejim Port State Control (PSC), maka pemerintah suatu negara anggota wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan terhadap kapal-kapal asing yang dilakukan di pelabuhannya, sesuai dengan MOU wilayah masing-masing.

Lebih lanjut, dalam upaya menjaga dan meningkatkan mutu implementasi instrumen hukum IMO, pemerintah negara yang sudah meratifikasi konvensi IMO diwajibkan untuk:
  Menerbitkan dan memelihara rekaman (record) sebagai bukti tentang kesesuaian terhadap persyaratan dan kegiatan (operation) yang effective;
  Menerbitkan prosedur untuk mendefinisikan kontrol dan tanggung jawab dalam bagian-bagian organisasi (department);
  Membudayakan upaya meningkatkan pelaksanaan (implementasi) semua konvensi dan peraturan2 wajib lainnya;
  Mampu mendeteksi dan menghilangkan sebab2 terjadinya NC (Non Conformity – Ketidaksesuaian), melalui audit secara teratur (regular) dan berkesinambungan;
  Menyediakan SDM yang cukup dalam jumlah, kualitaas dan berpengalaman untuk melaksanakan fungsi kontrol;
  Memastikan bahwa investigasi terhadap terjadinya kecelakaan kapal2 berbendera nasional, dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat waktu.

Hak, kewajiban dan tanggung jawab khusus bagi Flag State, Coastal State, dan Port State

Flag State (Negara Bendera – negara dimana kapal yang dimaksud melakukan registrasi):
  Melakukan registrasi (kapal-kapal) secara benar;
  Membuat peraturan2 standard keselamatan dan keamanan maritim serta pencegahan pencemaran;
  Membuat peraturan2 tentang perkapalan (konstruksi, peralatan, navigasi, bongkar muat muatan, dll);
  Menyelenggarakan Diklat dan sertifikasi untuk para pelaut sesuai ketentuan secara benar;
  Melaksanakan inspeksi (Flag State Control), survey dan sertifikasi kapal2 yg mengibarkan benderanya;
  Investigasi setiap ada kecelakaan.

Coastal State (Negara Pantai – negara yang perairannya dilayari/dilalui oleh kapal-kapal bendera asing):
  Mengimplementasikan semua konvensi yang telah diratifikasi dan peraturan2 lainnya;
  Memiliki hak mendelegasikan kewenangan kepada pihak yang di tunjuk (RO);
  Melaksanakan survey dan investigasi pada semua kapal-kapal yang mengibarkan benderanya (fungsi Flag State);
  Melakukan evaluasi dan peninjauan ulang terhadap pelaksanaan konvensi dan aturan2 lainnya;
  Memberikan layanan: komunikasi radio, berita cuaca, SAR, Hidrografi, route kapal, sistim pelaporan kapal-kapal;
  Menyediakan Layanan Lalu-lintas Kapal-kapal atau VTS (Vessel Traffic Services);
  Menyediakan dan merawat alat-alat bantu navigasi (Pelampung, Suar, dlsb.).

Port State (Negara Pelabuhan – negara yang pelabuhannya disinggahi oleh kapal-kapal berbendera asing):
  Menyediakan fasiltas penampungan pembuangan minyak, sampah dll. sesuai dengan ketentuan MARPOL, BWM, dan instrumen hukum lainnya (bila ada);
  Melaksanakan PSC (Port State Control) sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  Melakukan registrasi kepada sumua Supplier BBM kapal.

Penutup
            Tulisan di atas adalah hanya ringkasan dari code yang sesungguhnya, tentunya tidak lengkap. Untuk lebih memahami secara rinci dan lengkap, silakan pembaca baca Resolusi A.1070(28) yang text nya dapat di unduh secara mudah di internet. Apabila anda adalah orang yang terlibat langsung dengan implementasi “triple I code” ini, saya menyarankan untuk membaca Resolusi IMO nomor Resolution A.1121(30) tertanggal 18 Desember 2018.

Penulis berharap semoga para pembaca mampu memahami “triple I code” dan bersedia memberikan appresiasi kepada teman-teman di Ditjenhubla yang telah bersusah payah untuk menyusun, mengembangkan dan mensosialisasikan serta upaya menegakkan aturan-aturan nasional sesuai ketentuan internasional, yang merupakan bentuk nyata tanggung jawabnya sebagai ‘Administration’. Semoga maritim Indonesia maju seperti cita-cita nenek moyang kita…aamiiin…

11 comments:

  1. Selamat sore, Captain Hadi.
    Saya ingin menanyakan tentang penyediaan VTS, apakah IMO mewajibkan negara-negara anggotanya menerapkan sistem ini atau tidak? Mohon jawabannya ya, Pak.
    Alasan saya menanyakan hal ini adalah terkait tulisan saya di website perusahaan tempat saya bekerja (PT Imani Prima) yang bergerak di bidang IT. Dalam tulisan tersebut, saya membahas tentang VTS, dan menulis "IMO mewajibkan implementasi VTS bagi negara-negara anggotanya" dan mendapat respon "cukup sengit" dari direksi. Sangat mungkin bahwa saya salah dalam menerjemahkan makna, dan saya akan memperbaikinya namun penting bagi saya untuk mengetahui makna/maksud dari hal-hal yang diwajibkan IMO. Harapan saya, Bapak bisa memberi penjelasan mengenai hal ini. Terima kasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yth ibu Puji Astuti,
      Seperti yg saya tulis pada tulisan saya ttg Triple I Code, salah satu kewajiban bagi negara pantai (coastal state) adalah menyelenggarakan VTS. Aturan ttg VTS ada di SOLAS 1974 Bab V Regulation 12. Silakan baca selengkapnya di SOLAS. Ttg daerah pelayaran mana yg harus diberi layanan VTS adalah atas pertimbangan negara anggota IMO sendiri (contracting government - negara yg ssh meratifikasi SOLAS).
      Petunjuk bagaimana menyelenggarakan VTS, IMO memberikan guideline sebagaimana dituangkan ke dalam Resolusi Assembly nr. A.857(20) - Gidelinies for Vessel Traffic Services (file bs didownload dr internet)

      Sekian. Mudah2an bermanfaat

      Salam

      Hadi

      Delete
    2. Tambahan: sy tdk tahu apa yg dimaksud tanggapan "sengit". Di SOLAS ada kalimat yg menyatakan bahwa ketentuan internasional tidak bs mendikte pemerintah negara manapun.

      Delete
  2. Terima kasih atas penjelasannya, Pak. Penjelasan Bapak sangat bermanfaat bagi saya. Soal "sengit" itu mohon dilupakan saja, Pak. Sepertinya saya yang kadung terbawa perasaan alias baper. Hehehe.
    Yang dipertanyakan oleh direksi memang seputar kata "IMO mewajibkan," saja. Sementara, penerapan IMO berlaku bagi negara-negara pantai dan IMO menyerahkan keputusan sepenuhnya pada pemerintah negara bersangkutan, dan hal ini rupanya memang tidak serta merta menjadi acuan bahwa IMO mewajibkan seluruh negara anggotanya menyelenggarakan VTS.

    Salam hormat.

    ReplyDelete
  3. Satu pertanyaan lagi, Pak. Jika IMO/ketentuan internasional tidak bisa mendikte pemerintah negara manapun, adakah sanksi/ketentuan lain bagi negara pantai anggota IMO yang tidak mengikuti/melaksanakan aturan yang telah ditetapkan?

    Terima kasih.

    ReplyDelete
  4. Mbak Puji,
    IMO tidak dapat memberikan sanksi apa2. Kalau toh ada sanksi, yang memberikan negara anggota lainnya secara individu atau melalui organisasi tertentu. Misalnya Indonesia tidak memberi layanan VTS sesuai dng ketentuan IMO, maka negara lain yg merasa dirugikan dapat membawa masalahnya ke sidang IMO (Maritime Safety Committee meetings).
    Yg sudah pernah diangkat di sidang IMO (waktu saya menjadi Atase Perhubungan) antara lain: pelaksanaan Port State Control yg tdk sesuai ketentuan di angkat dlm sidang oleh BIMCO. Perlakuan Amerika terhadap pelaut dr negara Islam yg tdk sesuai FAL, diangkat dlm sidang oleh negara2 Islam (termasuk Indonesia krn waktu itu banyak pelaut Indonesia di descriminasi). Kalau suatu negara tdk melaksanakan ketentuan internasional secara konsekuen, bilanitu menyangkut keselamatan atau keamanan, kadang komunitas negara pengguna menetapkan sendiri bahwa perairan itu adalah “grey area”, yg merugikan negara wilayah perairan tersebut.

    ReplyDelete
  5. Terima kasih atas jawabannya, Pak. Saya jadi googling mengenai FAL setelah membaca penjelasan Bapak. Sekali lagi terima kasih, Pak. Terima kasih karena sudah mau menulis, tanpa tulisan Bapak saya pasti masih ke sana ke mari dan bolak-balik kamus dan masih bingung memahami wajib tidaknya penerapan VTS. Semoga Tuhan selalu memberkati Bapak.

    Kapan-kapan mampir ke Imani Prima, Pak.

    Salam hormat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sy jg terima kasih mbak Pujian mau baca tulisan saya. InshaAllah kapan2 bs berkesempatan mampir. Alamat Imani prima dimana mbak?

      Delete
  6. Wah, senangnya! Ini alamat PT Imani Prima, Pak,
    Graha STR Lt. 2, Jl. Ampera Raya no. 11, RT.1/RW.2, Ragunan, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.

    Saya dan semua yang ada di Imani Prima akan senang dan sangat berterima kasih jika Bapak berkenan mampir.
    Tapi Bapak pasti akan diberondong banyak pertanyaan, hehehe....

    Salam hormat.

    ReplyDelete
  7. begitu menarik, dan sangat jarang ada tulisan yg concern tentang diplomasi kemaritiman.. semoga dapat terus berkarir dengan baik bapak .

    ReplyDelete
  8. Tadinya kirain apa..gak tahunya 3 I.ya ....😊😊

    ReplyDelete