Kata Pembuka
Sebelum
tulisan ini, bulan lalu saya telah menulis dan mem-posting di blog saya tentang
“Triple I Code” (https://hadisupriyono.blogspot.co.id/2018/02/sekilas-tentang-triple-i-code.html). Di
akhir tulisan itu, saya berjanji akan melanjutkan tulisan tentang “triple i code”.
Dengan tulisan ini penulis berharap kepada teman-teman semua, baik yang
terlibat langsung maupun tidak langsung dengan pelaksanaan (implementasi) Code
ini dapat me-review kembali apa yang sudah dilakukan, apa yang sedang
dilakukan, dan apa yang kedepan harus dilakukan. Khususnya bagi teman-teman
yang bekerja di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, yang sejak
diberlakukannya Code ini sudah sangat sibuk bekerja keras siang dan malam tanpa
mengenal lelah demi kejayaan maritim Indonesia.
Review tulisan sebelumnya tentang “triple i code”
“III Code” atau popular dengan sebutan “Triple I Code” adalah “IMO
Instrument Implementation Code”. Yaitu Code yang diadopsi pada sidang
paripurna IMO sesi yang ke 28 pada tanggal 10 Desember 2013 melalui resolusi
nomor Res.A.1070 (28).
Tujuan utama Triple I Code adalah untuk meningkatkan
keselamatan dan keamanan maritim serta pencegahan pencemaran lingkungan laut
secara global serta membantu negara anggota IMO dalam mengimplementasikan
konvensi yang telah diratifikasinya.
Dampak diberlakukannya Triple I Code ini adalah
terdapatnya amandemen terhadap beberapa konvensi IMO yang disebut sebagai mandatory instrument. Konvensi yang
mengalami perobahan-perobahan antara lain:
1.
SOLAS 1974, Protocol 1988
2.
MARPOL 1973/78
3.
STCW 1978
4.
Load Line Convention 1966
5.
Tonnage Measurement 1969, dan
6.
COLREG 1972
Pemberlakuan Triple I Code ini untuk tiap-tiap
konvensi dan Code berbeda-beda. Misalnya Colreg 1972 (Penambahan Bagian F,
Aturan 39, 40 dan 41) dan kebanyakan konvensi mulai diberlakukan tanggal 1
Januari 2016.
Beberapa Code yang terdampak terhadap pemberlakuan
Triple I Code ini yaitu:
1.
SOLAS 1074/Protocol 1988:
·
FSS Code 11-2/3.22
·
LSA Code 111/3.10
·
CSS Code Sub Chapter 19, V1/2.2.1
·
Grain Code V1/8.1
·
IMDG Code V11/1.1
·
IBC Code V11/8.1 & MARPOL Annex
II Reg.1(10)
·
IGC Code V11/11.
·
INF Code V11/11-2
·
ISM Code IX/1.1
·
1994 HSC Code X/1.1
·
2000 HSC Code X/1.2
·
Res. A.739(18) X1-1/1 – Recognized
Organization Code (RO Code)
2.
MARPOL 1973/78
·
Res. MEPC 94(46) as amended Annex I
Reg. 13G & 13H
·
BCH Code Annex II, Reg. 1(11)
·
Nox Tech Code
3.
STCW 1978
·
STCW Code Part A Reg 1/1.2.3
Kewajiban Negara Anggota IMO
Dalam memenuhi kewajiban mengimplementasikan konvensi
dan code, hal-hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah pada waktu membuat
kebijakan, peraturan, dan prosedur-prosedur terkait dengan peraturan yang ada sesuai
Code ini adalah:
1. Yurisdiksi (Jurisdiction).
Bahwa peraturan-peraturan harus disusun dan dibuat oleh badan pemerintah yang
berwenang membuat peraturan. Yang kemudian diundangkan oleh pemerintah.
Dilaksanakan dan diawasi oleh institusi yang di tunjuk (Administration).
2. Organisasi dan Otoritas (Organization and authority). Pembagian tugas masing-masing instansi
pemerintah dalam implementasi harus jelas sehingga tidak ada tumpang tindih
kekuasaan yang dapat membingungkan pengguna jasa maritim baik nasional maupun
internasional.
3. Legislasi, aturan dan peraturan (Legislation, rules and regulation). Peraturan harus dibuat dengan
jelas sehingga tidak membinggungkan pihak-pihak yang menggunakannya. Termasuk
penjelasan dan prosedur pelaksanaannya.
4. Sosialisasi terhadap peraturan-peraturan
internasional (Promulgation of the applicable international
mandatory instruments, rules and regulation). Adanya ketentuan-ketentuan
internasional yang baru harus disosialisasikan ke masyarakat umum pengguna jasa
maritim sebelum dibuat ketentuan-ketentuan nasionalnya.
5. Rencana pelaksanaan (Enforcement
arrangements). Pemberlakuan tiap-tiap peraturan baru khususnya yang berasal
dari ketetapan internasional wajib direncanakan secara terjadwal, sehingga
tidak mengganggu operasi kapal pada khususnya dan bisnis maritim pada umumnya.
6. Fungsi2: kontrol, survey, inspeksi,
audit, verifikasi, pengakuan dan sertifikasi (Control,
survey, inspection, audit, verification, approval and certification functions).
Pelaksana fungsi2 tersebut harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
7. Pemilihan, pengakuan, otorisasi,
pemberdayaan SDM dan monitoring R/O’s dan nominasi untuk para Surveyor (Selection,
recognition, authorization, empowerment and monitoring of recognized
organizations, as appropriate, and of nominated surveyors).
8. Hasil investigasi yang harus disampaikan
ke IMO (Investigations required to be reported to the Organization). Hasil
investigasi dari adanya penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan internasional
dan langkah-langkah penanganannya wajib dilaporkan ke IMO.
9. Pelaporan ke IMO dan Pemerintah negara
lain (Reporting to the Organization and other
Administrations). Sesuai
dengan rejim Port State Control (PSC),
maka pemerintah suatu negara anggota wajib menyampaikan laporan hasil
pemeriksaan terhadap kapal-kapal asing yang dilakukan di pelabuhannya, sesuai
dengan MOU wilayah masing-masing.
Lebih lanjut, dalam upaya menjaga dan meningkatkan
mutu implementasi instrumen hukum IMO, pemerintah negara yang sudah
meratifikasi konvensi IMO diwajibkan untuk:
Menerbitkan
dan memelihara rekaman (record)
sebagai bukti tentang kesesuaian terhadap persyaratan dan kegiatan (operation) yang effective;
Menerbitkan
prosedur untuk mendefinisikan kontrol dan tanggung jawab dalam bagian-bagian
organisasi (department);
Membudayakan
upaya meningkatkan pelaksanaan (implementasi) semua konvensi dan peraturan2
wajib lainnya;
Mampu
mendeteksi dan menghilangkan sebab2 terjadinya NC (Non Conformity – Ketidaksesuaian), melalui audit secara teratur (regular) dan berkesinambungan;
Menyediakan
SDM yang cukup dalam jumlah, kualitaas dan berpengalaman untuk melaksanakan
fungsi kontrol;
Memastikan
bahwa investigasi terhadap terjadinya kecelakaan kapal2 berbendera nasional,
dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat waktu.
Hak, kewajiban dan tanggung jawab khusus bagi Flag State,
Coastal State, dan Port State
Flag State (Negara Bendera – negara dimana
kapal yang dimaksud melakukan registrasi):
Melakukan
registrasi (kapal-kapal) secara benar;
Membuat
peraturan2 standard keselamatan dan keamanan maritim serta pencegahan
pencemaran;
Membuat
peraturan2 tentang perkapalan (konstruksi, peralatan, navigasi, bongkar muat
muatan, dll);
Menyelenggarakan
Diklat dan sertifikasi untuk para pelaut sesuai ketentuan secara benar;
Melaksanakan
inspeksi (Flag State Control), survey
dan sertifikasi kapal2 yg mengibarkan benderanya;
Investigasi
setiap ada kecelakaan.
Coastal State (Negara Pantai – negara yang perairannya
dilayari/dilalui oleh kapal-kapal bendera asing):
Mengimplementasikan
semua konvensi yang telah diratifikasi dan peraturan2 lainnya;
Memiliki
hak mendelegasikan kewenangan kepada pihak yang di tunjuk (RO);
Melaksanakan
survey dan investigasi pada semua kapal-kapal yang mengibarkan benderanya (fungsi
Flag State);
Melakukan
evaluasi dan peninjauan ulang terhadap pelaksanaan konvensi dan aturan2 lainnya;
Memberikan
layanan: komunikasi radio, berita cuaca, SAR, Hidrografi, route kapal, sistim
pelaporan kapal-kapal;
Menyediakan
Layanan Lalu-lintas Kapal-kapal atau VTS (Vessel
Traffic Services);
Menyediakan
dan merawat alat-alat bantu navigasi (Pelampung, Suar, dlsb.).
Port State (Negara Pelabuhan – negara yang pelabuhannya
disinggahi oleh kapal-kapal berbendera asing):
Menyediakan fasiltas penampungan pembuangan
minyak, sampah dll. sesuai dengan ketentuan MARPOL, BWM, dan instrumen hukum
lainnya (bila ada);
Melaksanakan PSC (Port State Control) sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
Melakukan registrasi kepada sumua
Supplier BBM kapal.
Penutup
Tulisan di atas adalah hanya
ringkasan dari code yang sesungguhnya,
tentunya tidak lengkap. Untuk lebih memahami secara rinci dan lengkap, silakan
pembaca baca Resolusi A.1070(28) yang text nya dapat di unduh secara mudah di
internet. Apabila anda adalah orang yang terlibat langsung dengan implementasi “triple
I code” ini, saya menyarankan untuk membaca Resolusi IMO nomor Resolution A.1121(30) tertanggal
18 Desember 2018.
Penulis
berharap semoga para pembaca mampu memahami “triple I code” dan bersedia
memberikan appresiasi kepada teman-teman di Ditjenhubla yang telah bersusah
payah untuk menyusun, mengembangkan dan mensosialisasikan serta upaya
menegakkan aturan-aturan nasional sesuai ketentuan internasional, yang
merupakan bentuk nyata tanggung jawabnya sebagai ‘Administration’. Semoga maritim Indonesia maju seperti cita-cita
nenek moyang kita…aamiiin…
Selamat sore, Captain Hadi.
ReplyDeleteSaya ingin menanyakan tentang penyediaan VTS, apakah IMO mewajibkan negara-negara anggotanya menerapkan sistem ini atau tidak? Mohon jawabannya ya, Pak.
Alasan saya menanyakan hal ini adalah terkait tulisan saya di website perusahaan tempat saya bekerja (PT Imani Prima) yang bergerak di bidang IT. Dalam tulisan tersebut, saya membahas tentang VTS, dan menulis "IMO mewajibkan implementasi VTS bagi negara-negara anggotanya" dan mendapat respon "cukup sengit" dari direksi. Sangat mungkin bahwa saya salah dalam menerjemahkan makna, dan saya akan memperbaikinya namun penting bagi saya untuk mengetahui makna/maksud dari hal-hal yang diwajibkan IMO. Harapan saya, Bapak bisa memberi penjelasan mengenai hal ini. Terima kasih.
Yth ibu Puji Astuti,
DeleteSeperti yg saya tulis pada tulisan saya ttg Triple I Code, salah satu kewajiban bagi negara pantai (coastal state) adalah menyelenggarakan VTS. Aturan ttg VTS ada di SOLAS 1974 Bab V Regulation 12. Silakan baca selengkapnya di SOLAS. Ttg daerah pelayaran mana yg harus diberi layanan VTS adalah atas pertimbangan negara anggota IMO sendiri (contracting government - negara yg ssh meratifikasi SOLAS).
Petunjuk bagaimana menyelenggarakan VTS, IMO memberikan guideline sebagaimana dituangkan ke dalam Resolusi Assembly nr. A.857(20) - Gidelinies for Vessel Traffic Services (file bs didownload dr internet)
Sekian. Mudah2an bermanfaat
Salam
Hadi
Tambahan: sy tdk tahu apa yg dimaksud tanggapan "sengit". Di SOLAS ada kalimat yg menyatakan bahwa ketentuan internasional tidak bs mendikte pemerintah negara manapun.
DeleteTerima kasih atas penjelasannya, Pak. Penjelasan Bapak sangat bermanfaat bagi saya. Soal "sengit" itu mohon dilupakan saja, Pak. Sepertinya saya yang kadung terbawa perasaan alias baper. Hehehe.
ReplyDeleteYang dipertanyakan oleh direksi memang seputar kata "IMO mewajibkan," saja. Sementara, penerapan IMO berlaku bagi negara-negara pantai dan IMO menyerahkan keputusan sepenuhnya pada pemerintah negara bersangkutan, dan hal ini rupanya memang tidak serta merta menjadi acuan bahwa IMO mewajibkan seluruh negara anggotanya menyelenggarakan VTS.
Salam hormat.
Satu pertanyaan lagi, Pak. Jika IMO/ketentuan internasional tidak bisa mendikte pemerintah negara manapun, adakah sanksi/ketentuan lain bagi negara pantai anggota IMO yang tidak mengikuti/melaksanakan aturan yang telah ditetapkan?
ReplyDeleteTerima kasih.
Mbak Puji,
ReplyDeleteIMO tidak dapat memberikan sanksi apa2. Kalau toh ada sanksi, yang memberikan negara anggota lainnya secara individu atau melalui organisasi tertentu. Misalnya Indonesia tidak memberi layanan VTS sesuai dng ketentuan IMO, maka negara lain yg merasa dirugikan dapat membawa masalahnya ke sidang IMO (Maritime Safety Committee meetings).
Yg sudah pernah diangkat di sidang IMO (waktu saya menjadi Atase Perhubungan) antara lain: pelaksanaan Port State Control yg tdk sesuai ketentuan di angkat dlm sidang oleh BIMCO. Perlakuan Amerika terhadap pelaut dr negara Islam yg tdk sesuai FAL, diangkat dlm sidang oleh negara2 Islam (termasuk Indonesia krn waktu itu banyak pelaut Indonesia di descriminasi). Kalau suatu negara tdk melaksanakan ketentuan internasional secara konsekuen, bilanitu menyangkut keselamatan atau keamanan, kadang komunitas negara pengguna menetapkan sendiri bahwa perairan itu adalah “grey area”, yg merugikan negara wilayah perairan tersebut.
Terima kasih atas jawabannya, Pak. Saya jadi googling mengenai FAL setelah membaca penjelasan Bapak. Sekali lagi terima kasih, Pak. Terima kasih karena sudah mau menulis, tanpa tulisan Bapak saya pasti masih ke sana ke mari dan bolak-balik kamus dan masih bingung memahami wajib tidaknya penerapan VTS. Semoga Tuhan selalu memberkati Bapak.
ReplyDeleteKapan-kapan mampir ke Imani Prima, Pak.
Salam hormat.
Sy jg terima kasih mbak Pujian mau baca tulisan saya. InshaAllah kapan2 bs berkesempatan mampir. Alamat Imani prima dimana mbak?
DeleteWah, senangnya! Ini alamat PT Imani Prima, Pak,
ReplyDeleteGraha STR Lt. 2, Jl. Ampera Raya no. 11, RT.1/RW.2, Ragunan, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.
Saya dan semua yang ada di Imani Prima akan senang dan sangat berterima kasih jika Bapak berkenan mampir.
Tapi Bapak pasti akan diberondong banyak pertanyaan, hehehe....
Salam hormat.
begitu menarik, dan sangat jarang ada tulisan yg concern tentang diplomasi kemaritiman.. semoga dapat terus berkarir dengan baik bapak .
ReplyDeleteTadinya kirain apa..gak tahunya 3 I.ya ....😊😊
ReplyDelete