Sejak
musibah tenggelamnya kapal Senopati Nusantara dan Levina II pada awal tahun
2007 yang lalu, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya peningkatan
pengawasan terhadap pengoperasian kapal-kapal penumpang, khususnya yang
dioperasikan secara domestic.
Pada
akhir tahun 2007, bekerja sama dengan secretariat IMO melalui ITCP
(Internasional Technical Cooperation Program), Indonesia telah melakukan
seminar-semianr nasional dan internasional dalam upaya memecahkan
masalah-masalah yang timbul serta kendala-kendala yang ada dalam
pengoperasian kapal-kapal penumpang secara selamat dan aman.
Di
IMO, agenda sidang tentang bagaimana meningkatkan keselamatan pelayaran, tidak
pernah henti-hentinya dibahas, baik melalui sidang-sidang tingkat sub-komite maupun komite.
Pada
sidang MSC (Maritime Safety Committee – Komite Keselamatan Maritim) sesi ke
90, yang dilaksanakan di Markas IMO pada tanggal 16 – 25 Mei 2012, dipicu
oleh musibah kandasnya kapal Costa Concordia di perairan Italia pada bulan
Januari lalu, sidang telah membahas rekomendasi sementara untuk meningkatkan
keselamatan pada kapal-kapal penumpang, yang pada akhirnya sidang mampu
menetapkan resolusi dengan mendapat persetujuan secara aklamasi dari
mayoritas delegasi yang hadir pada sidang tersebut.
Resolusi
yang di adopsi pada sidang MSC tersebut meminta kepada semua Negara anggota
IMO untuk meminta kepada perusahaan-perusahaan pelayaran yang
mengoperasikan kapal penumpang, agar meninjau kembali pelaksanaan aturan-aturan keselamatan, terutama secara operasional. Oleh karena
rekomendasi atau himbauan ini tidak bersifat wajib (voluntary basis), maka
harus dilihat dari tingkat urgensi dan efisiensinya (with all possible urgency
and efficiency), dengan memperhatikan rekomendasi sementara secara
operasional sesuai dengan yang terdapat pada poin-poin surat edaran dari MSC.
Rekomendasi
sementara sesuai dengan edaran MSC tersebut antara lain:
· membawa rompi-penolong
(life-jacket) tambahan, harus disiapkan di ruangan/tempat umum, di
muster/assembly station, di geladak atau di sekoci-penolong, sehingga pada
keadaan darurat penumpang tidak harus kembali ke ruangannya untuk mengambil
rompi-penolong;
· melakukan latihan keadaan
darurat terutama untuk para penumpang yang baru naik kapal sebelum kapal
berangkat apabila pelayaran yang akan ditempuh lamanya 24 jam atau lebih;
· membatasi orang-orang
datang/naik ke anjungan, khususnya pada waktu kapal berolah gerak atau sesuai
dengan ketentuan harus meningkatkan kewaspadaan bernavigasi, misalnya pada
waktu tiba/berangkat dari pelabuhan, perairan ramai, daya tampak terbatas karena
kabut, hujan dll; dan
· meyakinkan bahwa rancangan
pelayaran kapal (ship's voyage plan) telah dilaksanakan sesuai dengan panduan yang diberikan oleh
IMO, bila perlu sesuai dengan panduan rancangan pelayaran bagi kapal-kapal
beroperasi di wilayah perairan terpencil
Adopsi resolusi tersebut
diatas berawal dari informasi yang disampaikan oleh pemerintah Itali melalui
delegasinya yang hadir pada sidang MSC 90, yaitu hasil sementara investigasi
terhadap kandasnya kapal Costa Concordia. Usulan Italia melalui
intervensinya, disambut baik oleh delegasi dari berbagai Negara anggota yang
lain dan dari Cruise Industry Operational Safety Review.
Resousi tersebut menghimbau
“Negara Anggota IMO dan semua pemangku kepentingan pengoperasian kapal penumpang, untuk mengambil
langkah-langkah penting, bahwa standard keselamatan yang ada telah
dilaksanakan secara penuh dan effective”.
Secara prinsip, sidang MSC
juga menyetujui rencana aksi untuk jangka panjang membahas tentang
keselamatan kapal penumpang sambil menunggu hasil akhir investigasi terhadap
kecelakaan kapal Costa Concordia.
Sekjen IMO Koji Sekimizu
menyambut baik hasil dari sidang MSC tersebut dan meminta untuk mengambil
tindakan-tindakan yang tepat-waktu dan tepat-guna dalam merespons terhadap
kecelakaan Costa Concordia.
Sidang MSC juga menyetujui
untuk mengadopsi rancangan persyaratan baru pada SOLAS
(Peraturan baru III/17-1) pada sidang MSC 91, tentang persyaratan kapal penumpang
yang harus memiliki rancangan dan prosedur untuk menolong orang yang jatuh ke
laut, dan dilengkapi dengan pedoman yang relevan, termasuk kapal yang
berlayar bukan pada perairan internasional (pelayaran domestic).
Dengan diadopsinya resolusi
diatas dan rencana diadopsinya Regulasi III/17-1 pada sidang MSC 91 bulan Mei
2013 yang akan datang, adalah merupakan tambahan beban bagi pemerintah
Indonesia, khususnya Direktorat Perkapalan dan Pelayaran, Ditjen Perhubungan
Laut, untuk membuat aturan-aturan nasional serta sosialisai ke semua pemangku
kepentingan (khususnya perusahaan pelayaran yang mengoperasikan kapal
penumpang) dan melakukan pengawasan terhadap pengoperasian kapal-kapal
penumpang domestic maupun internasional secara lebih intensif.
.
|
yang penting dilapangan itu fungsi kontrol dari administrator berjalan dengan konsisten, berani dan tegas dalam menegakan peraturan safety.
ReplyDeleteDengan kata lain, yang tugas mengatur harus mau mengawasi aturan dengan konsekuen, dan yang diatur harus mau diatur (mentaati aturan)......safety culture.
ReplyDeleteTerima kasih kepada para pembaca yg telah memberikan reaksi. Kepada yang memberikan reaksi 'kurang menarik', mohon masukan apakah yg tdk menarik tulisannya atau substansinya? Terima kasih. Salam
ReplyDeleteSelamat Siang Capt, mohon izin bertanya...
ReplyDeleteMungkin ini out of topic, saya ingin bertanya apakah IMO merekomendasikan bahwa setiap vessel (yang dimiliki oleh perusahaan pelayaran/angkut di Indonesia) harus menggunakan safety equipment (misalnya Fire Extinguishing System) yang sudah mendapatkan sertifikasi dari IMO?
Terimakasih sebelumnya
Salam
Dear Yovi, seingat saya IMO tdk pernah melakukan sertifikasi thdp peralatan dikapal (misalnya safety equipment). Yg dilakukan negara2 anggota IMO, yg kemudian hasilnya dituangkan kedlm bentuk Resolusi atau Konvensi, adalah membuat persyaratan minimal yg hrs dipenuhi, unt menjamin faktor keselamatan terpenuhi. Namun memang persyaratan2 yg biasanya disetujui adalah merupakan usulan2 dr negara2 Eropa, shg Resolusi/Konvensi yg kemudian diaplikasikan, persyaratannya menjadi berat, terutama bagi negara2 berkembang spt Indonesia.
ReplyDeleteUntuk mengatasi hal itu, Pemerintah Indonesia telah membuat standard sendiri untuk kapal2 yg tdk terkena aturan Konvensi, yg diberi nama Non Convention Vessel Standards (NCVS), dengan SK Menhub nr KM 65 tahun 2010. Mudah2an dng NCVS tsb, dapat lebih meringankan beban operator kapal dan fihak lain yg terkait dlm upaya memenuhi faktor2 keselamatan.
Sekian, mudah2an menjawab pertanyaannya...Salam.
Terimakasih atas pencerahannya Capt,
ReplyDeleteSaya melihat document Accident Reports KNKT atas kejadian kebakaran pada kapal yang berasal dari engine compartment, api berhasil dipadamkan oleh sistem pemadam kebakaran yang menggunakan HALON, padahal halon ini sudah dilarang penggunaannya di Indonesia karena merusak lapisan ozon (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 35/2009)
Untuk kasus diatas memang bisa saja Kapal bisa selamat dari kebakaran namun ozon terkena dampaknya.
Bagaimana pendapatan Captain akan hal ini? apakah tidak ada inspeksi dari instansi terkait mengenai penggunaan Halon di kapal?
Semoga mendapat pencerahan, terimakasih Capt...
Dear Yovi,
ReplyDeleteTerima kasih atas atensinya.
Seingat saya, Ditjenhubla jg sdh lama melakukan pelarangan thdp penggunaan Halon sbg media pemadaman kebakaran di kapal. Melalui diklat2 BST dan AFF, jg sdh disampaikan ttg hal ini.
Kalau masih ada penggunaan Halon, tentunya ini penyimpangan, yg menjadi tanggung jawab Ditjenhubla melalui syahbandar2 yg melakukan pemeriksaan faktor2 keselamatan kapal.
Sebelum menerbitkan sertifikat keselamatan kapal, seharusnya dilakukan pemeriksaan yg menyeluruh. Saya percaya, secara prosedural ini sdh dilakukan, namun bukan berarti tdk ada penyimpangan dlm pelaksanaan dilapangan, yg dilakukan oleh 'oknum2' yg tdk faham dan yg tdk bertanggung jawab. Demikian pula pd saat kpl akan berlayar, sehrsnya dilakukan pemeriksaan...bhw kpl telah dilengkapi peralatan sesuai dng yg tertera di sertifikatnya.
Demikian, mudah2an menjawab pertanyaan.
Salam
Bagi yg memberi reaction 'kurang menarik', terima kasih, maaf tulisan saya kurang menarik....Untuk itu, mohon masukannya agar dapat lebih menarik....Maksud saya, yg kurang menarik itu topiknya, atau cara penulisannya, atau materi yg ditulis?, terima kasih
ReplyDeletecapt, mohon infonya tentang konvensi atau aturan dari IMO tentang konstruksi baku dikapal.Trima kasih
ReplyDeleteDear Ano..,
ReplyDeleteTerima kasih atas atensinya.
Ttg pertamyaannya,coba baca dan cermati Bab II-1 dan Bab II-2 SOLAS 1974 consolidated edition 2009. Persyaratan konstruksi kpl lengkap ada di sana. Selain itu, ada Code-2 yg terkait misalnya FTP Code, dan rekomendasi2 ttg WATER TIGHT DOOR/bulkhead (hull integrity), safety measures unt ruangan2 tertutup (enclosed spaces), intact stability, dll. Ketentuan ttg konstruksi lebih rinci biasanya jg dibuat oleh Badan Klasifikasi Kapal2 terutama yg anggota IACS (misalnya Lloyd Register of Shipping)
Semoga menjawab pertanyaan.
Salam.
mohon bantuannya buat lowongan kerja buat OS/AB capt saya sailor new yg mencoba mengadu nasib saya memiliki sertifikat ANTD.SCRB dan BST pengalaman dah 2 tempat yg berbeda... trims capt
ReplyDeleteDear Ruland,
ReplyDeleteTerima kasih telah menyempatkan membaca tulisan saya...
Tentang permintaannya, mohon maaf saya bukannya tidak mau, tetapi bagaimana caranya ya? Sayangnya saya tidak punya kapal, tidak punya perusahaan pelayaran, bukan agen dan bukan recruitmen agent. Jadi, saya tidak tahu bagaimana caranya menolong anda.
Mencari kapal itu sama dengan mencari kesempatan (chance). Seperti menunggu jatuhnya bintang... Pasti ada, tapi entah kapan sulit dijadwalkan.
Dibutuhkannya awak kapal biasanya waktunya mendadak. Ditunggu tdk datang2, lengah sedikit hilang.
Saran saya, jangan putus asa. Di Jakarta banyak perusahaan pelayaran. Mudah2an beruntung. Memang harus sabar dan tekun. Kalau perlu mulailah dari yang paling tidak enak.....Jangan hanya melihat para pelaut yang berhasil...mereka berhasil karena pengalaman...mungkin dulu mulainya lebih sulit dari anda...Salam
banyak pelajaran yang bisa diambil dari kasus Costa Concordia, Penerapan aturan keselamatan bernavigasi, BRM, Komunikasi di kapal hingga operasi SAR. adalah tugas pemerintah untuk meninjau kondisi-kondisi tersebut yang mungkin bisa terjadi di kapal-kapal penumpang Indonesia
ReplyDeleteJauh hr sebelumnya, mulai dr musibah besar terbakarnya Tampomas II di thn 1980an, tenggelamnya Senopati Nusantara dan terbakarnya Levina II di thn 2006, tenggelamnya Teratai Prima di selat makassar, tenggelamnya Bahuga Jaya di selat Sunda 2012, dll hrsnya sdh menjadi pelajaran bagi kita.....
Delete