Friday 20 July 2012

Rekomendasi IMO tentang upaya meningkatkan factor keselamatan kapal penumpang dan amandemen SOLAS Regulation III/17-1



Sejak musibah tenggelamnya kapal Senopati Nusantara dan Levina II pada awal tahun 2007 yang lalu, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya peningkatan pengawasan terhadap pengoperasian kapal-kapal penumpang, khususnya yang dioperasikan secara domestic.

Pada akhir tahun 2007, bekerja sama dengan secretariat IMO melalui ITCP (Internasional Technical Cooperation Program), Indonesia telah melakukan seminar-semianr nasional dan internasional dalam upaya memecahkan masalah-masalah yang timbul serta kendala-kendala yang ada dalam pengoperasian kapal-kapal penumpang secara selamat dan aman.

Di IMO, agenda sidang tentang bagaimana meningkatkan keselamatan pelayaran, tidak pernah henti-hentinya dibahas, baik melalui sidang-sidang tingkat sub-komite maupun komite.

Pada sidang MSC (Maritime Safety Committee – Komite Keselamatan Maritim) sesi ke 90, yang dilaksanakan di Markas IMO pada tanggal 16 – 25 Mei 2012, dipicu oleh musibah kandasnya kapal Costa Concordia di perairan Italia pada bulan Januari lalu, sidang telah membahas rekomendasi sementara untuk meningkatkan keselamatan pada kapal-kapal penumpang, yang pada akhirnya sidang mampu menetapkan resolusi dengan mendapat persetujuan secara aklamasi dari mayoritas delegasi yang hadir pada sidang tersebut.

Resolusi yang di adopsi pada sidang MSC tersebut meminta kepada semua Negara anggota IMO untuk meminta kepada perusahaan-perusahaan pelayaran yang mengoperasikan kapal penumpang, agar meninjau kembali pelaksanaan aturan-aturan keselamatan, terutama secara operasional. Oleh karena rekomendasi atau himbauan ini tidak bersifat wajib (voluntary basis), maka harus dilihat dari tingkat urgensi dan efisiensinya (with all possible urgency and efficiency), dengan memperhatikan rekomendasi sementara secara operasional sesuai dengan yang terdapat pada poin-poin surat edaran dari MSC.

Rekomendasi sementara sesuai dengan edaran MSC tersebut antara lain:
·       membawa rompi-penolong (life-jacket) tambahan, harus disiapkan di ruangan/tempat umum, di muster/assembly station, di geladak atau di sekoci-penolong, sehingga pada keadaan darurat penumpang tidak harus kembali ke ruangannya untuk mengambil rompi-penolong;
·       melakukan latihan keadaan darurat terutama untuk para penumpang yang baru naik kapal sebelum kapal berangkat apabila pelayaran yang akan ditempuh lamanya 24 jam atau lebih;
·       membatasi orang-orang datang/naik ke anjungan, khususnya pada waktu kapal berolah gerak atau sesuai dengan ketentuan harus meningkatkan kewaspadaan bernavigasi, misalnya pada waktu tiba/berangkat dari pelabuhan, perairan ramai, daya tampak terbatas karena kabut, hujan dll; dan
·       meyakinkan bahwa rancangan pelayaran kapal (ship's voyage plan) telah dilaksanakan sesuai dengan panduan yang diberikan oleh IMO, bila perlu sesuai dengan panduan rancangan pelayaran bagi kapal-kapal beroperasi di wilayah perairan terpencil

Adopsi resolusi tersebut diatas berawal dari informasi yang disampaikan oleh pemerintah Itali melalui delegasinya yang hadir pada sidang MSC 90, yaitu hasil sementara investigasi terhadap kandasnya kapal Costa Concordia. Usulan Italia melalui intervensinya, disambut baik oleh delegasi dari berbagai Negara anggota yang lain dan dari Cruise Industry Operational Safety Review.

Resousi tersebut menghimbau “Negara Anggota IMO dan semua pemangku kepentingan pengoperasian kapal penumpang, untuk mengambil langkah-langkah penting, bahwa standard keselamatan yang ada telah dilaksanakan secara penuh dan effective”.
Secara prinsip, sidang MSC juga menyetujui rencana aksi untuk jangka panjang membahas tentang keselamatan kapal penumpang sambil menunggu hasil akhir investigasi terhadap kecelakaan kapal Costa Concordia.

Sekjen IMO Koji Sekimizu menyambut baik hasil dari sidang MSC tersebut dan meminta untuk mengambil tindakan-tindakan yang tepat-waktu dan tepat-guna dalam merespons terhadap kecelakaan Costa Concordia.

Sidang MSC juga menyetujui untuk mengadopsi rancangan persyaratan baru pada SOLAS (Peraturan baru III/17-1) pada sidang MSC 91, tentang persyaratan kapal penumpang yang harus memiliki rancangan dan prosedur untuk menolong orang yang jatuh ke laut, dan dilengkapi dengan pedoman yang relevan, termasuk kapal yang berlayar bukan pada perairan internasional (pelayaran domestic).

Dengan diadopsinya resolusi diatas dan rencana diadopsinya Regulasi III/17-1 pada sidang MSC 91 bulan Mei 2013 yang akan datang, adalah merupakan tambahan beban bagi pemerintah Indonesia, khususnya Direktorat Perkapalan dan Pelayaran, Ditjen Perhubungan Laut, untuk membuat aturan-aturan nasional serta sosialisai ke semua pemangku kepentingan (khususnya perusahaan pelayaran yang mengoperasikan kapal penumpang) dan melakukan pengawasan terhadap pengoperasian kapal-kapal penumpang domestic maupun internasional secara lebih intensif.
.

14 comments:

  1. yang penting dilapangan itu fungsi kontrol dari administrator berjalan dengan konsisten, berani dan tegas dalam menegakan peraturan safety.

    ReplyDelete
  2. Dengan kata lain, yang tugas mengatur harus mau mengawasi aturan dengan konsekuen, dan yang diatur harus mau diatur (mentaati aturan)......safety culture.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih kepada para pembaca yg telah memberikan reaksi. Kepada yang memberikan reaksi 'kurang menarik', mohon masukan apakah yg tdk menarik tulisannya atau substansinya? Terima kasih. Salam

    ReplyDelete
  4. Selamat Siang Capt, mohon izin bertanya...

    Mungkin ini out of topic, saya ingin bertanya apakah IMO merekomendasikan bahwa setiap vessel (yang dimiliki oleh perusahaan pelayaran/angkut di Indonesia) harus menggunakan safety equipment (misalnya Fire Extinguishing System) yang sudah mendapatkan sertifikasi dari IMO?

    Terimakasih sebelumnya

    Salam

    ReplyDelete
  5. Dear Yovi, seingat saya IMO tdk pernah melakukan sertifikasi thdp peralatan dikapal (misalnya safety equipment). Yg dilakukan negara2 anggota IMO, yg kemudian hasilnya dituangkan kedlm bentuk Resolusi atau Konvensi, adalah membuat persyaratan minimal yg hrs dipenuhi, unt menjamin faktor keselamatan terpenuhi. Namun memang persyaratan2 yg biasanya disetujui adalah merupakan usulan2 dr negara2 Eropa, shg Resolusi/Konvensi yg kemudian diaplikasikan, persyaratannya menjadi berat, terutama bagi negara2 berkembang spt Indonesia.
    Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah Indonesia telah membuat standard sendiri untuk kapal2 yg tdk terkena aturan Konvensi, yg diberi nama Non Convention Vessel Standards (NCVS), dengan SK Menhub nr KM 65 tahun 2010. Mudah2an dng NCVS tsb, dapat lebih meringankan beban operator kapal dan fihak lain yg terkait dlm upaya memenuhi faktor2 keselamatan.
    Sekian, mudah2an menjawab pertanyaannya...Salam.

    ReplyDelete
  6. Terimakasih atas pencerahannya Capt,

    Saya melihat document Accident Reports KNKT atas kejadian kebakaran pada kapal yang berasal dari engine compartment, api berhasil dipadamkan oleh sistem pemadam kebakaran yang menggunakan HALON, padahal halon ini sudah dilarang penggunaannya di Indonesia karena merusak lapisan ozon (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 35/2009)

    Untuk kasus diatas memang bisa saja Kapal bisa selamat dari kebakaran namun ozon terkena dampaknya.

    Bagaimana pendapatan Captain akan hal ini? apakah tidak ada inspeksi dari instansi terkait mengenai penggunaan Halon di kapal?

    Semoga mendapat pencerahan, terimakasih Capt...

    ReplyDelete
  7. Dear Yovi,
    Terima kasih atas atensinya.
    Seingat saya, Ditjenhubla jg sdh lama melakukan pelarangan thdp penggunaan Halon sbg media pemadaman kebakaran di kapal. Melalui diklat2 BST dan AFF, jg sdh disampaikan ttg hal ini.

    Kalau masih ada penggunaan Halon, tentunya ini penyimpangan, yg menjadi tanggung jawab Ditjenhubla melalui syahbandar2 yg melakukan pemeriksaan faktor2 keselamatan kapal.

    Sebelum menerbitkan sertifikat keselamatan kapal, seharusnya dilakukan pemeriksaan yg menyeluruh. Saya percaya, secara prosedural ini sdh dilakukan, namun bukan berarti tdk ada penyimpangan dlm pelaksanaan dilapangan, yg dilakukan oleh 'oknum2' yg tdk faham dan yg tdk bertanggung jawab. Demikian pula pd saat kpl akan berlayar, sehrsnya dilakukan pemeriksaan...bhw kpl telah dilengkapi peralatan sesuai dng yg tertera di sertifikatnya.

    Demikian, mudah2an menjawab pertanyaan.

    Salam

    ReplyDelete
  8. Bagi yg memberi reaction 'kurang menarik', terima kasih, maaf tulisan saya kurang menarik....Untuk itu, mohon masukannya agar dapat lebih menarik....Maksud saya, yg kurang menarik itu topiknya, atau cara penulisannya, atau materi yg ditulis?, terima kasih

    ReplyDelete
  9. capt, mohon infonya tentang konvensi atau aturan dari IMO tentang konstruksi baku dikapal.Trima kasih

    ReplyDelete
  10. Dear Ano..,
    Terima kasih atas atensinya.
    Ttg pertamyaannya,coba baca dan cermati Bab II-1 dan Bab II-2 SOLAS 1974 consolidated edition 2009. Persyaratan konstruksi kpl lengkap ada di sana. Selain itu, ada Code-2 yg terkait misalnya FTP Code, dan rekomendasi2 ttg WATER TIGHT DOOR/bulkhead (hull integrity), safety measures unt ruangan2 tertutup (enclosed spaces), intact stability, dll. Ketentuan ttg konstruksi lebih rinci biasanya jg dibuat oleh Badan Klasifikasi Kapal2 terutama yg anggota IACS (misalnya Lloyd Register of Shipping)
    Semoga menjawab pertanyaan.
    Salam.

    ReplyDelete
  11. mohon bantuannya buat lowongan kerja buat OS/AB capt saya sailor new yg mencoba mengadu nasib saya memiliki sertifikat ANTD.SCRB dan BST pengalaman dah 2 tempat yg berbeda... trims capt

    ReplyDelete
  12. Dear Ruland,
    Terima kasih telah menyempatkan membaca tulisan saya...
    Tentang permintaannya, mohon maaf saya bukannya tidak mau, tetapi bagaimana caranya ya? Sayangnya saya tidak punya kapal, tidak punya perusahaan pelayaran, bukan agen dan bukan recruitmen agent. Jadi, saya tidak tahu bagaimana caranya menolong anda.
    Mencari kapal itu sama dengan mencari kesempatan (chance). Seperti menunggu jatuhnya bintang... Pasti ada, tapi entah kapan sulit dijadwalkan.
    Dibutuhkannya awak kapal biasanya waktunya mendadak. Ditunggu tdk datang2, lengah sedikit hilang.
    Saran saya, jangan putus asa. Di Jakarta banyak perusahaan pelayaran. Mudah2an beruntung. Memang harus sabar dan tekun. Kalau perlu mulailah dari yang paling tidak enak.....Jangan hanya melihat para pelaut yang berhasil...mereka berhasil karena pengalaman...mungkin dulu mulainya lebih sulit dari anda...Salam

    ReplyDelete
  13. banyak pelajaran yang bisa diambil dari kasus Costa Concordia, Penerapan aturan keselamatan bernavigasi, BRM, Komunikasi di kapal hingga operasi SAR. adalah tugas pemerintah untuk meninjau kondisi-kondisi tersebut yang mungkin bisa terjadi di kapal-kapal penumpang Indonesia

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jauh hr sebelumnya, mulai dr musibah besar terbakarnya Tampomas II di thn 1980an, tenggelamnya Senopati Nusantara dan terbakarnya Levina II di thn 2006, tenggelamnya Teratai Prima di selat makassar, tenggelamnya Bahuga Jaya di selat Sunda 2012, dll hrsnya sdh menjadi pelajaran bagi kita.....

      Delete